wijabagus

 SEJATINYA Gubernur Bali, Made Mangku Pastika dengan mantap, jelas dan tegas telah meminta seluruh jajarannya dalam birokrasi pemerintahan baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk menindaklanjuti secara serius hasil rekomendasi dari kajian kritis kalangan wartawan (jurnalis) dan termasuk tim independen dalam rapat pleno Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-37 di gedung Wiswa Sabha Kantor Gubernur Bali, Minggu (14/6).

Hal ini tentunya bertujuan supaya fenomena klasik dari aksi premanisme dan praktik pungutan liar (pungli) yang acapkali menodai keagungan nilai adiluhung ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam konstruksi PKB selama ini tidak terulang kembali. Sehingga pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini diharapkan dapat terlaksana dengan lebih baik dan mampu mencerminkan kehidupan perilaku warga masyarakat Bali yang berbudaya dan bermartabat, serta berdaya saing global dalam menyongsong perkembangan masyarakat ekonomi ASEAN, yang disingkat MEA.

Ironisnya, berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan bahkan telah menjadi sorotan publik dalam tiga hari ini sejak PKB ke-37 dibuka secara resmi oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya, Sabtu (13/6) bahwa aksi premanisme dan praktik pungli yang disinyalir diotaki para oknum elite politik penguasa pemangku kebijakan pemerintahan terutama di lingkungan sekitar pelaksanaan PKB, yakni UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar terkesan merasa semakin percaya diri dan kebal hukum.

Kenapa? Karena mereka sangat yakin sampai kapan pun segala tindakan yang telah dilakukan selama ini tidak akan pernah dapat disentuh oleh para penegak hukum. Ini berarti tak akan pernah ada pemimpin yang punya keberanian dan nyali besar untuk menghentikan kebiasannya.

Celakanya, aksi premanisme dan praktik pungli ini telah menjelma menjadi budaya salah kaprah yang dilegalkan. Meskipun sejatinya secara publik telah terang benderang diketahui melanggar sistem berdemokrasi serta norma hukum dalam berbangsa dan bernegara. Kenapa? Karena telah dianggap sebagai ladang emas untuk meraih keuntungan ekonomi yang dapat diraih secara instan, cepat dan mudah. Sungguh ironis bukan?

Dalam konteks ini, realitas sosial dari kondisi ini sudah tentunya harus dapat dihentikan. Makanya, kalangan intelektual, akademisi, aktivis, budayawan, serta wartawan bersama pihak terkait dari instansi pemerintahan dituntut punya tanggungjawab moral dalam menjalankan tugas pengabdian sosialnya sebagai profesionalisme profesi di bidangnya untuk melakukan desakan agar dapat menghentikan tindakan kecanduan atau kebiasaan dari aksi premanisme dan praktik pungli para oknum elite politik penguasa pemangku kebijakan pemerintahan selama ini.

Mengingat, ajang PKB tidak lagi berbicara sebatas regional, nasional semata melainkan sudah mendunia secara global. Sehingga, segala hal terkait pelaksanaan PKB sudah tentunya akan menjadi cerminan dari perilaku kehidupan warga masyarakat Bali kekinian di kancah internasional. Betapa sedihnya kita jika tindakan melanggar hukum ini dianggap sebagai bagian dari kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali.

Implikasinya, upaya pembiaran dari tindakan melanggar hukum secara masif, terstruktur dan sistemik ini telah menciptakan kesenjangan sosial budaya di tengah kehidupan warga masyarakat Bali khususnya di lingkungan sekitar pelaksanaan PKB, yakni UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar.

Bahkan, lebih ironis lagi muncul kesan bahwa para pencinta seni budaya selaku apresian/penonton atau warga masyarakat penikmat sajian pertunjukan seni budaya di PKB seakan diabaikan dan tidak dianggap penting. Padahal, mereka pun sejatinya punya andil besar dalam menyukseskan pelaksanaan PKB selama ini. Bisa dibayangkan jika hal ini dibiarkan dapat dipastikan secara perlahan dan pasti mereka akan memilih absen atau tidak berkunjung ataupun menyaksikan sajian pertunjukan seni budaya di PKB.

Semestinya, tak hanya pengerajin dan seniman yang dimanja dengan berbagai fasilitas utama selama pelaksanaan PKB berlangsung, tapi para pencinta seni budaya selaku penonton/apresian atau warga masyarakat penikmat sajian pertunjukan seni budaya di PKB juga punya hak yang sama. Artinya, mereka punya hak untuk mendapatkan tempat parkir kendaraan yang lebih baik dan layak secara berbudaya dan bermartabat.

Sehingga, dapat menyaksikan beragam sajian pertunjukan atau pagelaran seni budaya selama PKB berlangsung dengan perasaan aman dan nyaman serta tidak lagi merasa dijadikan tumbal/korban dari aksi premanisme dan praktik pungli seperti yang telah terjadi selama ini.

Menyimak realitas ini menandakan bahwa gambaran kemandirian warga masyarakat sekitar pelaksanaan PKB, yakni UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar terkesan telah kehilangan kecerdasan intelektual dalam melatih keterampilan pengetahuan ilmiah terkait etika kehidupan berbudaya dan bermartabat secara beradab. Kenapa? Karena telah secara sengaja menggadaikan harga dirinya demi kepuasan hasrat ekonomi dengan kebiasaan meraih keuntungan instan, mudah dan cepat melalui aksi premanisme dan praktik pungli.

Sekali lagi, ini menandakan koordinasi di antara pihak terkait yang telah ditugaskan mengawal pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini belum sepenuhnya dapat berjalan dengan baik sesuai harapan khalayak publik. Hal ini, karena kecenderungan masih ada kesan mengabaikan kepentingan apresian/penonton atau warga masyarakat penikmat sajian pertunjukan seni budaya di PKB. Meskipun, pelayanan terhadap para pengerajin dan seniman sudah dianggap lebih baik dari tahun sebelumnya.

Faktanya, elite penguasa pemangku kebijakan tertinggi di kampus seni termegah di Bali, yakni Perguruan Tinggi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sebagai ruang publik yang berbudaya dan bermartabat dalam mencetak tenaga terampil, cerdas, dan terdidik telah dianggap gagal untuk memuliakan para apresian atau pencinta seni budaya (penonton) dan termasuk pengabdian tulus ngayah tanpa pamrih dari para seniman saat menyajikan pertunjukan seni budaya di ajang PKB. Kenapa? Karena dicap publik tak kuasa melawan kekuatan aksi premanisme dan praktik pungli yang berlindung dalam birokrasi desa pekraman di tingkat banjar.

Di samping itu, bahkan ruang publik yang menjadi aksesbilitas utama untuk kelancaran pelaksanaan PKB sepertinya juga belum ada perubahan yang berarti ataupun mendapatkan perlakuan/perhatian sepantasnya sesuai aturan hukum berbangsa dan bernegara. Sehingga, masih dijadikan ladang emas untuk memuaskan hasrat kepentingan ekonomi pribadi/kelompok atau golongan tertentu di lingkungan sekitar pelaksanaan PKB, yakni UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar.

Lantas, pertanyaannya kemanakah para elite politik penguasa pemangku kebijakan yang telah mendapatkan mandat khalayak publik berdasarkan perundang-undangan dari sistem demokrasi berbangsa dan bernegara selama ini. Sehingga dicap publik selalu absen dalam membela kepentingan khalayak publik. Ayo bangkit dan bergegaslah. Kini saatnya menunjukan kinerja pengabdiannya dalam birokrasi pemerintahan untuk menegakkan supremasi hukum berkeadilan yang berbudaya dan bermartabat demi kejayaan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali di ajang PKB, yang berkeadilan dan menyejahterakan di masa datang.(wb)