dialog-warga-bersuara-citizen-journalism-day-foto-anggara-mahendra

Anugerah Pewarta Warga untuk kali pertama diberikan pada sejumlah karya dan tokoh pilihan publik pada perhelatan Citizen Journalism Day, Sabtu (12/11) malam di Denpasar, Bali.

Denpasar (Metrobali.com)-

Anugerah Pewarta Warga untuk kali pertama diberikan pada sejumlah karya dan tokoh pilihan publik pada perhelatan Citizen Journalism Day, Sabtu (12/11) malam di Denpasar, Bali.

 Kegiatan ini dilaksanakan oleh Sloka Institute dan Bali Blogger Community (BBC), pengelola portal jurnalisme warga Balebengong.net. Lembaga, komunitas, dan portal ini lahir pada 2007. Acara ini juga didukung IAA, BOC Indonesia, dan lainnya.

 Ada empat kategori dalam Anugerah Jurnalisme Warga 2016 yaitu tulisan, foto dan ilustrasi, video, dan suara (audio).  Sebanyak 44 karya tulis, video, foto, ilustrasi, dan suara memperlihatkan suara-suara yang tak terdengar di Bali.

 Pemenang pertama kategori tulisan adalah I Wayan Willyana, seorang warga Batubulan. Ia mengisahkan Dadong Koda dan warungnya yang menjadi jejak sejarah perubahan sosial dan ideologi di Bali sejak 1965 sampai sekarang. Misalnya simpatisan partai di masa lalu, dampak peristiwa 30 September 1965 yang membuat warga saling bunuh, dan tekanan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya saat ini akibat pariwisata massal.

 “Ketika pembangunan fisik dan alih fungsi lahan makin tak berpihak pada ruang publik, melalui jurnalisme warga Balebengong memberi keberpihakan dan ruang kepada warga untuk berbagi dan bersuara,” ujar Willyana, pekerja pariwisata ini.

 Berikutnya ada anak mudaWidyartha Suryawan yang menulis narasi kuasa para orang kaya era Orde Baru. Ia melihat dan merasakan sendiri kegelisahan warga sekitar Bukit Pandawa, Kuta Selatan menghadapi tekanan akibat cepatnya perubahan geografis dan pembangunan industri pariwisata. Misalnya ketika sebuah lapangan golf dibangun dan warga makin sulit mengakses bebukitan yang dulu menjadi tempat bermain dan beternak.

pemenang-kategori-tulisan-citizen-journalism-day-foto-sloka

Untuk kategori foto dan ilustrasi pemenangnya adalah seorang ibu Ivy Candra yang tekun mengasuh putranya yang mengidap autisme untuk mendapat akses pendidikan inklusif. Melalui serial esai foto ponsel ia menulis cerita yang memperlihatkan perjuangan keduanya.

 Di kategori audio ada Maylina Triastuti, pelajar SMA 3 Denpasar, mengisahkan tentang makin hilangnya generasi muda yang mau bertani di Bali. Karya ini lebih unggul dari dua karya pelajar lainnya yaitu Vira Duarsa dan Ardi Mahendra.

 Adapun di kategori format video karya Hadhi Kusuma menjadi karya terbaik dengan judul Slinart, Street Art, dan Eksploitasi Pariwisata Bali. Video dari peserta-peserta lain menceritakan hal yang serupa, tentang bagaimana kondisi Bali saat ini akibat perubahan sosial budaya ekonomi, termasuk maraknya seni baru di Bali yaitu street art.

 Karya peserta BaleBengong Citizen Journalism Awards dinilai oleh tiga juri, yaitu Asana Viebeke Lengkong (pendiri I am An Angel), I Wayan Juniarta (Redaktur The Jakarta Post – Bali) dan Roberto Hutabarat (aktivis sosial).

 “Penghargaan ini perlu untuk terus didorong sebagai diseminasi informasi sekaligus meningkatkan kualitas manusia dalam wujud perubahan sosial terutama bagi warga-warga di kawasan pedalaman,” kata Viebeke.

 Dia memberikan contoh karya dari Made Selamat warga di Tulamben, Karangasem, yang menulis tentang krisis air di desanya. “Kekuatan ceritanya adalah karena tulisan itu dibuat oleh warga yang mengalami sendiri krisis tersebut,” tambahnya. Karena itu, bagi Viebeke, karya-karya warga juga diharapkan turut mendorong activism journalism terutama untuk mengkounter kebijakan pemerintah dan pelaksanaan program masyarakat di lapangan.

plakat-anugerah-pewarta-warga-citizen-journalism-day-foto-anggara-mahendra

 Adapun Roberto Hutabarat, mantan pegiat pers mahasiswa, mengatakan berbagai ragam karya tulis, foto, video dan suara yang diikutkan dalam lomba jurnalisme warga ini adalah sebuah bentuk suara subaltern. “Walaupun tidak semua, namun kebanyakan karya-karya yang saya baca dan saksikan, terutama karya yang bagus-bagus, nampak sekali bagaimana perjuangan kelas sedang bergolak secara dinamis,” katanya.

 Menurut Roberto menyaksikan beragam suara dan cara pandang yang diangkat dalam karya jurnalisme warga ini kita bisa melihat betapa masih banyaknya harapan dan kecerdasan yang muncul dari warga biasa yang hidupnya terbiasa terpinggirkan, marjinal dan tertindas. ”Suara-suara warga kelas subaltern ini pada dasarnya jarang atau bahkan tidak didengar atau tidak mau didengar oleh elite-elite atau kelas-kelas penguasa,” kata Roberto.

 Penghargaan Warga Bersuara diberikan untuk tiga tokoh yang bersuara pilihan publik. Mereka adalah Kadek Dwi Armika, seniman layangan tradisional Bali yang mengombinasikan material ramah lingkungan dan karyanya banyak dikoleksi museum luar negeri. Kemudian Linda Anugerah, perempuan yang melakukan kerja kemanusiaan dengan reaksi cepat setelah mendapat laporan di sosial media. Berikutnya Ida Bagus Kade Suwartama, Kelian Dusun Masen yang melakukan wujud rekonsialiasi dengan menggali kubur korban pembantaian massal peristiwa 65 di banjarnya, Kabupaten Jembrana.

 Ada juga dialog Musik Bersuara bersama anak muda musisi Bali yang bersuara lewat lagu, yakni Mr HIT dan Aya dan Laras duo remaja asal Nusa Penida. RED-MB