Aktivis lingkungan yang juga pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Femke Den Haas mengatakan, JAAN memiliki kecemasan tersendiri terkait dengan konflik investasi antara PT Piayu Samudera Loka (Dolphin Lodge) dengan Desa Adat Serangan yang akan berdampak pada keberlangsungan hidup lumba-lumba.
“Makanya kami bersurat secara resmi kepada PT Piayu Samudera Loka dan kepada Desa Adat Serangan yang isinya siap membantu menyelamatkan 9 ekor lumba-lumba yang ada di kolam Pulau Serangan milik PT Piayu Samudera Loka. Kami siapkan tenaga medis, makananan, obat-obat, untuk menyelamatkan lumba-lumba yang ada. Sebenarnya suratnya sudah kami kirimkan, tetapi karena ada kesalahan teknis sedikit maka besok (Kamis, 26/1) akan kami kirim ulang baik ke PT Piayu Samudera Loka maupun ke Desa Adat Serangan agar kami bisa menyelamatkan lumba-lumba tersebut,” ujarnya dikonfirmasi Rabu (25/1/2017).
Bersama beberapa staf lainnya, dia langsung mendatangi Desa Adat Serangan sehari sebelumnya. Bahkan dia berkomunikasi langsung dengan aparat desa adat terkait dengan kelangsungan hidup lumba-lumba di Serangan.
“Pihak Desa Adat sangat wellcome, mereka prinsipnya inginnya lumba-lumba selamat. Mereka mempersilahkan kepada kami untuk mengambil langkah-langkah bila satwa milik negara itu terancam keselamatannya,” ujarnya.
Bila sudah mendapatkan respon dari pihak perusahaan, dirinya akan menyiapkan ikan segar 10 ekor perhari perekor bagi 9 ekor lumba-lumba yang ada di kolam seluas 20×40 meter tersebut.
“Lumba-lumba itu minimal sehari perekor makan ikan hidup 10 ekor. Ternyata di Serangan hanya kasih 8 ekor perhari. Itu pun dipotong-potong, disuruh berenang dulu, hibur dulu tamunya, baru diberi makan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, apa pun alasannya entah itu demi kepentingan edukasi masyarakat, pelestarian lumba-lumba, memenjarakan lumba-lumba di kolam itu melanggar hak hidup lumba-lumba sebagai satwa yang dilindungi UU.
Hal ini bisa dilihat dari UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan kemudian dipertegas lagi dengan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Menurutnya, lumba-lumba adalah mamalia laut yang dilindungi dan pasal 40 UU No 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang sanksi hingga saat ini tidak pernah diterapkan.
“Semua atraksi lumba-lumba di Indonesia, termasuk di Bali itu melanggar. Dan Kementerian Kehutanan yang mengeluarkan izin kepada para investor telah melegalkan pelanggaran itu,” ujarnya.
Ia membeberkan beberapa fakta yang terjadi. Saat lumba-lumba itu dikurung dalam kolam, maka kebiasaan lumba-lumba yang merenang ratusan kilometer akhirnya hilang. Lumba-lumba disuruh memainkan atraksi baru diberi sepotong ikan yang belum tentu ikan segar atau ikan hidup. Itulah sebabnya banyak lumba-lumba yang ada di kolam, bila dicek di gudang kolam atau cek ke dokternya, selalu ada obat maag. Belum lagi banyak lumba-lumba yang sakit kulit, matanya terluka dan seterusnya.
“Jadi apa pun alasannya, mengurung lumba-lumba di kolam itu salah karena melawan hukum alam lumba-lumba itu sendiri. Apalagi seluruh lumba-lumba di kolam di Indonesia ditangkap di laut lepas,” pungkasnya.
Ia pun mendesak, agar lumba-lumba terutama yang sedang konflik seperti di Desa Adat Serangan sebaiknya dilepas ke alam bebas dan sebelum dilepas liarkan namun harus dipastikan dalam kondisi sehat.SIA-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.