AMANDA

Amanda Kantili Niode

 

Denpasar (Metrobali.com)-

Dampak perubahan iklim semakin parah dari waktu ke waktu, termasuk di Bali suhu permukaan sudah terasa semakin ekstrim. Apalagi selama ini tidak ada upaya dan aksi yang signifikan untuk mengurangi emisi karbon. Bahkan fakta yang cukup mencengangkan, sekitar 40 persen emisi karbon gas rumah kaca disumbang dari sektor pariwisata termasuk di Bali. Hal itu diungkapkan Tourism Ekpert dan Food Blogger, Bayu Amus yang akan ikut dalam perundingan perubahan iklim internasional atau Conference of Parties (COP) ke-21 yang akan berlangsung di Paris, Perancis, , Desember mendatang. “Pada tahun 2050 sektor pariwisata akan menjadi penyumbang emisi gas karbon dunia terbesar sekitar 40 persen,” ujarnya saat penyelenggaraan Youth for Climate Camp (YFCC) 2015 di Bali, Selasa (17/11).

 Dijelaskan selama ini pelaku pariwisata harus sadar dan menerapkan sustainable tourism yang bekerjasama dengan pemangku kepentingan antara Pemerintah, LSM. Komunitas Lokal dan Turis itu sendiri. Karena selama ini emisi karbon akan menjadi masalah global terhadap perubahan iklim. “Liat saja dari sektor pariwisata membutuhkan sarana transportasi udara yang menimbulkan emisi gas buang yang sangat banyak. Jika itu tidak dicegah dan dicarikan angkutan yang ramah lingkungan, tentu saja sektor pariwisata yang menjadi lalu lalang masyarakat dari berbagai belahan dunia akan menjadi penyebab utama perubahan iklim secara global,” terangnya.

 Disisi lain, Manager the Climate Reality Project Indonesia, Amanda Kantili Niode mengakui ancaman perubahan iklim semakin nyata. Hal ini membutuhkan aksi skala global, terutama gerakan dari generasi muda. Menurutnya penggunaan energi yang berlebihan bisa mempengaruhi perubahan iklim khususnya akibat pertumbuhan pariwisata, seperti di Bali sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim. Perlu dilakukan penghematan energi meskipun kelihatannya kecil, namun harus segera dilakukan, karena sangat berkontribusi untuk menjaga perubahan iklim. “Penduduk dunia, khusus generasi muda harus aktif mencari tahu informasi mengenai perubahan iklim untuk disebarkan pada orang lain, serta melakukan aksi untuk mengurangi gas rumah kaca,” ujarnya.

 Dikatakan indikator perubahan iklim bisa diliat dari temperaturnya jangan sampai lebih dari 2 derajat dari revolusi industri, namun setelah diekivalenkan sejak revolusi industri peningkatannya sangat luar biasa. Padahal negara kepulauan kecil tidak boleh lebih dari 1,5 derajat celsius. “Secara global di Indonesia terjadi peningkatan temperatur, termasuk di Bali yang bisa masuk kategori ekstrim. Oleh karena itu melalui Youth for Climate Camp 2015 di Bali, khususnya pemuda di Bali dapat menjadi garda terdepan gerakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Mereka harus mencari dan menyebarkan informasi serta melakukan aksi perubahan iklim,” pungkasnya. AW-MB