Suasana pameran di PKB 2014

 SETELAH dicap secara publik sebagai pengamat ataupun kritikus tetap dalam perhelatan seni budaya tahunan dari Pesta Kesenian Bali (PKB), sejatinya merupakan beban sangat berat bagi saya selaku jurnalis dan fotografer untuk dapat senantiasa merumuskan sebuah rekomendasi ideal dan sesuai fakta atas proses evaluasi dan pengamatan langsung terhadap kinerja kepanitiaan Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali selaku instansi pemerintah yang telah dipercaya penuh untuk mengonstruksi beragam program kesenian dari setiap kabupaten/kota (lokal), dan kesenian partisipasi luar daerah (nasional) dan luar negeri (asing) dalam ajang seni budaya masyarakat Bali (PKB) setiap tahunnya, demi peningkatan upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali.

Penegasan ini sengaja diungkap, karena cara pandang dalam upaya memahami berbagai persoalan selama perhelatan PKB berlangsung setiap tahun adanya kecenderungan untuk menafsirkan tujuan mulia dari peradaban budaya adiluhung kebudayaan bangsa yang telah dikonstruksi atau dirintis oleh mendiang budayawan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, yang juga gubernur Bali periode 1978-1988 hanya menurut perasaan suka tidak suka atau hanya sekadar memenuhi kepentingan nafsu duniawi secara pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu yang sangat kental dengan nuansa politik.

Apalagi, saat ini juga sedang berlangsung perhelatan maha dasyat dari proses demokrasi kebangsaan berupa masa kampanye yang telah di mulai sejak 4 Juni hingga berakhir menuju detik-detik menentukan saat pencoblosan pemilihan presiden periode 2014-2019, pada 9 Juli mendatang. Bahkan, saat ini juga sedang berlangsung pesta bola terkait perhelatan pesta dunia di Brasil, yang telah di mulai sejak 12 Juni 2014.

Lantas, bagaimana sesungguhnya proses kristalisasi beragam persoalan yang dapat merusak pencitraan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali selama perhelatan PKB berlangsung sampai memasuki periode ke – 36 tahun ini, sehingga dicap publik telah terjadi praktik degradasi budaya. Mengingat, intisari budaya merupakan pola pikir, perilaku, kebiasaan atau keseharian dari pribadi ataupun kelompok atau golongan di tengah kehidupan masyarakat yang telah berlangsung dalam jangka waktu cukup panjang. Seperti telah diungkap dalam artikel berjudul PKB 2014, Merajut Elektabilitas Budaya (metrobali, 2014/3/6), dan Soroti Kesan Monoton PKB 2014, Gubernur: Jangan Ada Kesan Pembiaran (metrobali, 2014/6/14).

Jika sampai salah dalam proses pelestarian dan pengembangan tentunya akan dapat berdampak negatif terhadap upaya pembentukan karakter bangsa di masa datang.Generasi emas bangsa akan menjadi bersifat pragmatis dan materialistik, tidak kreatif, tidak inovatif, dan kehilangan akal waras atau sehat, sehingga salah menafsirkan harapan dalam kehidupan masa depannya. Biasanya cara berpikir mereka seringkali mengabaikan substansi kebenaran dalam mencapai tujuan bersama berupa kemaslahatan publik yang lebih baik dan menyejahterakan secara beradab dan bermartabat.

Bahkan, proses merengkuh kebebasan dalam kemudahan tidak mengenal proses perjuangan atau berusaha, melainkan kecenderungan menggunakan tindakan intimidasi dan kekerasan sampai sifat kerakusan, oportunis dan ingin menang sendiri dalam memecahkan persoalan, hingga menciptakan intolerasi budaya dan pelecehan terhadap penegakan supremasi hukum berkeadilan sesuai ketentuan konstitusi, UUD’45 dan Pancasila. Sehingga, muncul kesan fenomena dari sebuah citra gaya hidup di era reformasi demokrasi multikulturalisme, tapi dalam cengkraman alam refresif masa lalu karena maraknya organisasi sosial kemasyarakatan yang merasa seolah kebal hukum dan tebal muka. Seperti telah diungkap dalam buku berjudul Pesta Kesenian Bali, Pesta Media Massa, karya I Nyoman Wija, SE,Ak, M.Si, seorang magister kajian budaya Universitas Udayana, Denpasar sekaligus jurnalis dan fotografer Jawa Pos Radar Bali.

Celakanya, upaya mengonstruksi kebenaran dalam memuliakan nilai kemanusiaan seringkali dimanipulasi hanya demi perebutan kekuasaan dan gaya hidup hedonistik semata tanpa hati nurani atau mata hati dan budi pekerti berlogika dan bernalar. Bahkan, para elite penguasa pemangku kebijakan justru acapkali terjebak sebagai pencetak tradisi dari budaya salah kaprah atau cacat moral tersebut, termasuk dicap sebagai koruptor. Padahal, sejatinya mereka harus menjunjung tinggi moralitas rasional dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara bertanggungjawab sebagai pengayom masyarakat. Sehingga, kehidupan berbudaya di era reformasi demokrasi kebangsaan saat ini dapat memberikan keamanan dan kenyamanan dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tentunya, dengan tetap menjunjung tinggi spirit nilai keadaban berlandaskan ketentuan konstitusi, UUD’45 dan Pancasila dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika di tengah denyut nadi kehidupan masyarakat yang sangat beragam, pluralistis dan multikulturalisme.

Atas dasar itulah, sudah saatnya semua pihak mulai melakukan tindakan korektif berintegritas mulai dari kepanitian hingga kepengurusan ekologi desa pakraman sebagai barometer utama dan terdepan dari pelaksanaan program kesenian setiap kabupaten/kota, luar daerah maupun luar negeri dalam perhelatan PKB tahun ini, sehingga tidak senantiasa tersandera praktik degradasi budaya yang dapat merusak pencitraan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali secara mendunia. Langkah strategis tersebut berupa kesadaran baru dalam bingkai revolusi budaya yang lebih manusiawi, bersahaja, dan berkesinambungan untuk menciptakan paradigma kemandirian sosial secara ekonomi, politik dan budaya yang kreatif, inovatif, kompetitif dan berdaya saing global.

Revolusi budaya tersebut tentunya sesuai dengan tema PKB tahun ini, yakni Kertamasa: Dinamika Kehidupan Masyarakat Agraris Menuju Kesejahteraan Semesta. Dalam upaya penguatan ketahanan pangan nasional di tengah kemiskinan kehidupan kaum petani yang semakin termarjinalisasi dari perekonomian global para kapitalisme modal, karena terdesak akibat penyempitan lahan, mahalnya ongkos produksi seperti pupuk, benih, pemasaran, rendahnya harga jual, hingga ketidakberdayaan atas kesenjangan kesejahteraan terhadap pendidikan, kesehatan, dan jaminan pekerjaan berorientasi masa depan yang cemerlang. Seperti telah diungkap secara gamblang dalam artikel berjudul Subak Mendunia, Petani Menjerit (metrobali, 2013/11/28).

 

Zaman Edan

Panggung seni pertunjukan dalam perhelatan PKB senantiasa menyajikan sesuatu keindahan dan kemeriahan yang sarat makna dan pesan moralitas atas dinamika kehidupan kekinian dalam konteks orkestrasi seni budaya tradisional sebagai upaya pelestarian dan pengembangan peradaban kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali. Sayangnya, dinamika kesadaran baru yang ingin dicapai acapkali tidak sesuai dengan harapan bersama secara bermartabat dan beradab. Ini tentunya akibat dari beragam faktor di antaranya figur pemimpin, ekologi desa pakraman, perilaku intelektual profesional yang terkooptasi mentalitas budak, dan sikap feodalistik dan ditaktor atau otoriter, hingga pencitraan kesadaran semu.

Sehingga, upaya dialektika revolusi budaya menjadi sebuah keniscayaan modern menuju perubahan sosial budaya di tengah kehidupan masyarakat agraris kekinian. Ini seakan menegaskan bahwa figur pemimpin senantiasa dituntut harus mengedepankan moralitas kebangsaan yang lebih reformis dan mampu membangun kesadaran baru yang taat dan patuh kepada hukum negara. Supaya tercipta generasi emas bangsa yang memahami harapan hidup masa depannya secara utuh dan berbudaya adilihung ke-Indonesia-an. Mengingat, perubahan pola pikir dan budaya tanpa harus tercerabut dari akar tradisi sangat penting dalam menghadapi peradaban global yang semakin bebas dalam sentuhan teknologi maha dasyat dan serba canggih.

Hal ini tentunya senada dengan ungkapan gubernur Bali, Made Mangku Pastika saat jumpa pers dengan awak media setelah rapat pleno pelaksanaan PKB ke-36 tahun 2014 di gedung Wiswa Sabha, Renon, Denpasar, Selasa (10/6). Di mana kaum intelektual yang berprofesi sebagai pelaku seni budaya atau seniman hendaknya mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi kemampuan dalam menciptakan karya unggulan, sehingga mampu mencapai tingkat kesadaran yang membahagiakan dan menyejahterakan dalam kesederhanaan. Menurutnya, bagaimana mungkin bisa mencapai kebahagiaan (happiness) kalau berkesenian harus terbebani hutang. “Ingatlah bahwa berkesenian itu bukan menyiksa diri, tapi menghaluskan jiwa dan untuk membuat kita jadi senang, bahagia, gembira. Kalau sampai punya hutang berarti ada yang salah pada saat menggagasnya,”tegasnya, sembari mengimbau agar berkesenian dengan sederhana.

Bahkan, Prof. Dr. I Wayan Dibia, sebagai Ketua Tim Kurator PKB 2014, juga menegaskan bahwa dalam keadaan perekonomian yang maju sangat pesat di tengah melemahnya kesadaran intelektual terhadap budaya agraris sebagai kekuatan ketahanan pangan nasional hendaknya seniman selaku profesi bermartabat dituntut harus mampu menciptakan karya unggulan dengan prinsip kesederhanaan dan keteladanan, sehingga mampu membentuk karakter bangsa yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan secara konkrit demi mencapai tujuan bersama, yakni kehidupan lebih baik dan menyejahterakan di masa mendatang. “Sesuai tema Kertamasa, sebagai pemaknaan terhadap dinamika kehidupan masyarakat agraris menuju kesejahteraan semesta, seniman memang dituntut dalam berkesenian harus mengusung konsep kesederhanaan sesuai tingkat kemampuan, sehingga tidak sampai terbebani hutang,” katanya.

Namun, seperti biasanya kesadaran seniman acapkali berorientasi atas dasar idealisme materialistik semata, karena pola pikir dan gaya hidup glamour dan hedonistik kebablasan. Ya, inilah fenomena zaman edan, yang senantiasa keliru atau salah dalam menafsirkan perubahan global dari revolusi budaya di tengah pergolakan demokrasi kebangsaan kekinian. Akibatnya, terjadilah kesemrawutan persoalan secara masif dan terus menerus hingga terkesan adanya praktik pembiaran otomatis.

Karena itu, keteladanan figur pemimpin seakan menjadi kebutuhan paling mendesak yang harus segera terpenuhi, sehingga proses revolusi budaya mampu memenuhi harapan publik secara berkeadilan, bermartabat, dan berkelanjutan. Mengingat, kelenturan mental dalam mengubah cara bernalar, berpikir, cara memandang, dan cara berperilaku atau bertindak tidak pernah lepas dari tekanan hasrat antara emosi dan motivasi untuk memuaskan kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu. Apalagi, para elite penguasa pemangku kebijakan seringkali terjebak sebagai penikmat keuntungan materialistik sesaat dengan jalan pintas tanpa pernah memikirkan konsekuensi dari dampak negatif atas tindakan pragmatis dan hedonis yang telah dikonstruksinya.

Maka itulah, gerakan revolusi budaya harus dibarengi upaya bersama melakukan revolusi mental yang tidak sekadar urusan bathin bersifat tindakan ragawi dan ciri fisik semata, melainkan terkait akan cara hidup, berpikir, merasa, mempercayai atau menyakini, berperilaku, bertutur, bertindak, bernalar, memandang masalah dan memutuskan solusinya. Karena, sebesar apapun keuntungan materialistik yang diperoleh dengan kelicikan dan cara sesat, akan lebih mulia dan beruntung jika mampu merawat kewaspadaan bathin dan keteladanan dalam budi pekerti yang berbudaya adiluhung.

Di samping itu, revolusi budaya bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, kesadaran moral dalam program PKB semata, melainkan tindakan perubahan terhadap struktur sosial dan kebiasaan dari ekologi budaya di tengah kehidupan desa pakraman. Guna menciptakan wahana seni budaya berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian, dan metode evaluasi yang terbebas dari adanya tindakan intimidasi atau tekanan politik kepentingan transaksional sesaat bergaya premanisme yang sangat feodalistik atau ditaktor. Sehingga, transformasi etos kinerja dari perubahan mendasar dalam mentalitas figur pemimpin dapat menemukan kembali interaksi visi misi utamanya dalam memuliakan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kekuatan taksu dari kearifan lokal khas Bali secara mendunia di masa datang.

 

Jaga Kesenian

Sebuah kalimat bijak berbunyi poverty with dignity is better than wealth based on shame, yang artinya kemiskinan dengan tetap menjaga kehormatan lebih baik daripada banyak uang, tetapi diperoleh dengan cara yang memalukan. Makna dari pesan bijak ini seakan mengkritisi perilaku masyarakat yang koruktif dalam mendapatkan penghasilan atau duit/uang tanpa harus kerja di tengah perhelatan PKB setiap tahunnya. Seperti mengintimidasi kebebasan institusi pendidikan tinggi, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, serta mengokupasi badan jalan dan trotoar untuk kepentingan parkir dan dagang, termasuk memaksakan kehendak dengan menciptakan kesenjangan sosial, hanya demi memenuhi hasrat duniawi bersifat pribadi maupun kelompok atau golongan yang berlindung dibalik ekologi desa pakraman.

Padahal, pihak penyelenggara telah upaya maksimal untuk mengatasi dan meminimalisir persoalan kemacetan arus lalu lintas selama pelaksanaan PKB setiap tahun dengan pengadaan shuttle bus gratis yang terpusat di dua lokasi, yakni GOR Ngurah Rai, Denpasar, dan Parkir Timur Lapangan, Renon. Denpasar. Bahkan, para elite penguasa pemangku kebijakan secara sadar dan sengaja menyalahgunakan kekuasaan dengan membodohi dan membohongi masyarakat dengan dalih memenuhi hasrat duniawi atas dasar kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu secara sistematis dan terus menerus. Kekeliruan dalam menafsirkan tujuan mulia PKB pun semakin kebablasan, karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam memuliakan eksistensi dari kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang telah mendunia bertahun-tahun.

Fenomena ini tentunya sangat tidak sejalan dengan harapan dari pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat membuka PKB ke-36 tahun ini di panggung terbuka Ardha Candra (arts centre) Bali, UPT Taman Budaya Bali, Denpasar, Jumat (13/6). Di mana, presiden dalam kehadiran terakhirnya selama sepuluh tahun dalam sambutannya secara tegas mengajak masyarakat Bali untuk senantiasa menjaga keseniannya. Karena, kesenian merupakan soft power yang dapat memberikan keteduhan dan kasih sayang bagi upaya menciptakan kedamaian dunia. “Agar tradisi, nilai nilai dan kehidupan masyarakat Bali yang religius dapat dijaga, dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh kering dengan kehidupan beragama dan juga tidak boleh jauh dari kehidupan berkesenian dan kebudayaan,”tegasnya.

Begitu juga dengan harapan ideal yang disampaikan gubernur Bali, Made Mangku Pastika dalam sambutannya saat mendampingi presiden membuka PKB ke-36 tahun ini, Jumat (13/6). Di mana PKB adalah puncak apresiasi seniman Bali dan wahana komunikasi antarseniman, serta sekaligus bagian integral dari pembangunan daerah dan pembangunan masyarakat Bali secara menyeluruh. Kegiatan ini juga sebagai modal budaya bagi masyarakat Hindu Bali agar tetap ajeg sekaligus fleksibel dalam menghadapi berbagai peluang sekaligus tantangan yang semakin kompleks. Karena itu, masyarakat diharapkan dapat terus berkarya melahirkan berbagai kesenian yang kreatif, inovatif, dan berkualitas tanpa meninggalkan identitas dan jati dirinya. “Sebagai inspirasi untuk melahirkan pemikiran kreatif dan inovatif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di tengah kehidupan agraris yang dinamis,” katanya.

Menyikapi pernyataan kedua elite penguasa pemangku kebijakan dalam instansi pemerintahan, penulis merasakan ketegasan tersebut hanya sebatas konteks wacana yang senantiasa tidak pernah dibarengi dengan aksi nyata dan konkrit di lapangan dalam mengatasi beragam persoalan yang merusak pencitraan PKB setiap tahun secara terus menerus. Sehingga terkesan ada praktik pembiaran, meskipun sesungguhnya beragam pembenahan fisik maupun agenda program kesenian dalam PKB selama ini telah berupaya dilakukan secara bertahap guna menepis kesan monoton yang senantiasa diperdebatkan khalayak publik di media massa baik cetak maupun elektronik, termasuk sosial media. Seperti diungkap dalam artikel berjudul PKB 2013, Legalisasi Profesi Koruptor? (metrobali, 2013/7/5).

Dengan segala keterbatasan dari kepanitiaan pelaksanaan PKB semestinya dapat memuliakan nilai kemanusiaan dalam bingkai kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang lebih bermartabat dan beradab. Para elite politik penguasa pemangku kebijakan, mulai dari kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat secara konsisten melaksanakan fungsinya sebagai penganyom masyarakat dan pelindung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dengan lebih bertanggungjawab sesuai ketentuan konstitusi, UUD’45 dan Pancasila.

Dalam upaya menciptakan keadilan dalam arti seluas-luasnya demi kepentingan khalayak publik. Sehingga tidak ada kesan pelaksanaan PKB yang menghabiskan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Bali sebesar Rp 5,6 miliar lebih ini hanya sekadar proyek bagi-bagi kekuasaan dan keuntungan materialistik semata. Apalagi, tidak adanya keterbukaan dalam pelaporan keuangan secara transparan dan akuntabel di depan publik sebagai prasyarat utama dari prose reformasi birokrasi. Seperti diungkap dalam artikel berjudul Reformasi Setengah Tiang: Membungkam Pers, Mengibiri Wartawan (metrobali, 2014/5/24).

Nah, pada akhirnya giliran khalayak publik terutama kalangan jurnalis untuk senantiasa mengkritisi sekaligus melakukan pengawasan secara terpadu, sehingga perhelatan PKB ke-36 tahun ini dapat berjalan dengan baik dan lancar serta terbebas dari praktik intimidasi atau praktik premanisme yang merusak pencitraan dari kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang selama ini telah berlangsung secara terus menerus tanpa pernah adanya komitmen dan kemauan bersama untuk menuntaskannya. WB-MB