Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Revisi Draf Perpres Tugas TNI
Anggota Kopassus dalam latihan kontra-terorisme bersama pasukan elit Australia di bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali (foto: ilustrasi).
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Joko Widodo untuk merevisi rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Sejumlah lembaga yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil menilai rancangan/draft Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, yang sedang dibahas pemerintah, bertentangan dengan Undang-undang TNI dan UU Terorisme.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, draft itu memberikan kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme. Salah satunya yaitu fungsi pencegahan yang di dalam draf disebut fungsi penangkalan.
“UU Terorisme pada Pasal 43 A hanya mengenal istilah pencegahan yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan dengan BNPT. Aturan turunan dari pasal 43 A tersebut juga seharusnya diatur melalui peraturan pemerintah,” jelas Ade saat konferensi pers di kantor Imparsial, Jakarta, Kamis (4/7).
Peneliti senior Imparsial Anton Ali Abbas menambahkan draft Perpres ini juga membolehkan TNI untuk menggunakan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN dalam penanganan terorisme. Menurutnya, penggunaan APBN di luar APBN tersebut tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat sehingga anggaran TNI hanya melalui APBN seperti yang diatur dalam UU TNI. Karena itu, koalisi berpendapat pendanaan di luar ketentuan UU TNI menyalahi aturan.
“Dalam draft Perpres ini itu membuka peluang sumber lain, yang bagi kami dapat berpotensi mempengaruhi independensi TNI sebagai institusi yang terpusat. Selain juga, sumber pendanaan lain itu sulit kita minta transparansi dan akuntabilitasnya, karena kita tidak punya ketentuan yang mengatur mengenai pembiayaan atau sumber lain bagi sektor pertahanan,” jelasnya.
Koalisi juga menilai draft Perpres ini lebih mengedepankan pola atau model perang dalam mengatasi tindak pidana terorisme. Perpres ini juga menghilangkan peran DPR yakni pengerahan kekuatan TNI harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Karena itu, hal ini akan berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.