Perlu Dewan EtikdanPertahankanSabha Walaka

 

Denpasar (Metrobali.com)

            Suara-suara untuk menghapus Sabha Walaka dari organ PHDI, belakangan jadi kasak-kusuk santer, utamanya ketika Sabha Walaka PHDI oleh pihak tertentu dipandang menjadi hambatan untuk reklamasi Teluk Benoa. Sebab, secara tidak langsung, karena Keputusan Sabha Walaka yang merekomendasikan  ‘’Kawasan Suci Teluk Benoa’’ dalam Pasamuhan Sabha Walaka 11 Oktober 2015, sampai ada Keputusan Pasamuhan Sabha Pandita 9 April 2016 tentang Kawasan Suci Teluk Benoa. Keputusan Sabha Pandita ini kini menjadi salah satu ‘’senjata’’ berbagai eksponen masyarakat dan umat Hindu di Bali menolak reklamasi Teluk Benoa.

            Walaupun tidak persis mengusulkan menghapus Sabha Walaka dari organ PHDI, dalam forum Pasamuhan Sabha Pandita 9 April 2016, Ida Acarya Agni Yogananda adalah Sabha Pandita yang terang-terangan menjegal Sabha Walaka, memotong organ PHDI ini mempresentasikan bahan, padahal AD/ART jelas mengatur, bahwa Sabha Walaka bertugas dan berhak mempersiapkan bahan dan mendampingi Sabha Pandita, baik dalam Pasamuhan maupun kegiatan lain yang membutuhkan pikiran dan kajian, agar Sabha Pandita tidak mengeluarkan Keputusan atau Bhisama yang bertentangan dengan aspirasi umat Hindu serta tidak punya landasan keilmuan yang sahih.

            Yogananda bahkan melarang Sabha Walaka membantu Sabha Pandita merumuskan Keputusan Pasamuhan, dengan alasan di Sabha Pandita sudah banyak pakar hukum, politik, bahkan pakar bahasa untuk editing tata bahasa dan terminologi. Memang, belum pasti apakah suara-suara untuk menghapus Sabha Walaka ini linier dengan manuver Acarya “Bagiasna’’ yang belakangan sering mempersoalkan Sabha Walaka.

            Namun, FGD menganggap, Sabha Walaka tetap penting, karena tidaklah tepat membebani Sabha Pandita mengerjakan hal-hal teknis yang mestinya ditangani staff. Sabha Walaka dengan pengalaman dan jaringan yang ada, bisa membantu Sabha Pandita secara optimal, misalnya memperkuatnya dengan kajian narasumber, ketika Sabha Pandita memerlukan bahan untuk mengambil Keputusan. Kalau ingin berfungsi optimal, jumlahnya justru perlu ditambah, dengan memperhatikan keahlian, profesionalisme serta representasi daerah dari seluruh Indonesia. Yang perlu justru membentuk Dewan Etik PHDI untuk ‘’mengadili’’ perilaku oknum Pengurus PHDI, baik itu Sabha Pandita, Sabha Walaka maupun Pengurus Harian. Oknumnya yang menyimpang, melalui Dewan Etik, harus diberi sanksi.

            Dharma Adhyaksa Ida Pedanda Sebali  menjelaskan bahwa sudah 15 tahun reformasi PHDI berjalan, sejumlah Bhisama dan Keputusan Sabha Pandita adalah produk yang dipersiapkan oleh Sabha Walaka. Kalaupun ada kekurangan, itu wajar karena sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan dan tugas-tugas Sabha Walaka dan Sabha Pandita sangatlah terbatas. Dan sepanjang 15 tahun reformasi PHDI ini, tidak ada dana untuk Sabha Pandita maupun Sabha Walaka, sehingga segala sesuatunya diupayakan sendiri oleh dua organ tersebut. RED-MB