Keterangan foto:  YYDiaz menggelar literasi publik bertajuk Teras Dialog dengan topik, Quo Vadis Demokrasi di Renon, Denpasar, Jumat (27/9/2019)/MB

Denpasar, (Metrobali.com) –

Demokrasi Indonesia pasca Pilpres 2019 cukup memberikan rasa kwatir. Padahal belum lama ini, tersembul harapan rakyat usai bertemunya mantan kandidat Capres, “Mereka menunjukan sikap kedewasaan berpolitik, saling meneguhkan dan mengapresiasi” ungkap Ketua YYDiaz Center, Valerian Libert Wangge di Denpasar, Jumat (27/9/2019).

Sosok yang lebih dikenal sebagai Advokat ini mengungkapkan jika setelah dilantiknya anggota legislatif terpilih di daerah, mayoritas rakyat justru tengah menunggu pelantikan Presiden dan Wapres terpilih tanggal 20 Oktober 2019 yang diawali dengan pelantikan anggota DPR RI tanggal 1 Oktober 2019 mendatang.

“Ironi, situasi nasional yang mulai kondusif itu justru berubah arah seolah kembali ke masa sebelum reformasi. Sejumlah aksi unjuk rasa mahasiswa, pelajar dan rakyat yang bertujuan untuk menginterupsi proses transaksional politik, justru harus bertaruh nyawa” Ujar Valerian.

Menyimak dinamika yang sedang berlangsung, pihaknya memilih inisiatif untuk kembali menghelat program literasi publik bertajuk Teras Dialog dengan topik, Quo Vadis Demokrasi, sebuah pertanyaan menyoal fenomena kritik dan autokritik pasca Pemilu 2019.

“Teras Dialog akan dikemas secara lebih interaktif menghadirkan para mitra dialog yang akan berdiskusi dengan beragam perspektif. Giat dihelat hari Sabtu, 28 September 2019, dimulai pukul 19:30 – 22:00 Wita bertempat di Warung Sang DEWI, jalan Tukad Musi I / 5, utara Gereja Kathedral Renon, Denpasar” Ungkap Faris sapaan akrabnya.

Sementara itu, pendiri YYDiaz Center Yosep Yulius Diaz yang ditemui di Renon, Denpasar, Jumat (27/9/2019) menambahkan bila alasan pemilihan topik tak terlepas dari banyaknya masukan dan pertanyaan kritis dari para sahabat,

“Demokrasi Indonesia ini mau kemana? Ada cukup banyak warga kita yang belum bisa memilah dan membedakan esensi tentang kecintaan terhadap negara dengan sikap kritisnya kepada penyelenggara negara”

Beragam pertanyaan itu menurut dia, “Apakah demokrasi itu sama dengan keseragaman dukungan? Apakah memilih sikap berbeda dengan kebijakan pemerintah itu tabu? Bukankah demokrasi itu memungkinkan adanya tradisi kritik dan autokritik?”

Nah, menurut Yosep Yulius Diaz bermunculan pula kegelisahan akan adanya proses pelabelan terhadap kaum kritikus yang mengkerdilkan makna bernegara dan berdemokrasi,

“Padahal demokrasi itu memungkinkan adanya tradisi kritis terhadap penyelenggara negara. Sehingga harapan akan hadirnya sebuah kultur demokrasi yang mengutamakan check and balance, masih terganjal dengan sikap fanatisme buta”

Untuk itu Yosep Yulius Diaz mengajak masyarakat yang ingin berbagi perspektif demokrasi untuk hadir dalam teras dialog, “Harapan kami melalui dialog ini bisa terhimpun catatan penting guna mempertajam arah dan membangun tradisi Demokrasi Indonesia yang sehat”