IMG_20150801_231553

Denpasar, (Metrobali.com) –

Jurnalisme damai, meskipun dalam prakteknya susah diterapkan saat terjadi konflik, tetapi konsep jurnalisme ini harus terus dilakukan oleh setiap wartawan. Untuk mewujudkannya, setiap wartawan atau jurnalis dituntut harus netral dan berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu sebelum meliput konflik sosial.

Hal tersebut menjadi penekanan dalam diskusi dalam Diskusi Jurnalisme Damai Belajar dari Kasus Tolikara yang digelar oleh AJI Denpasar, di Kubu Kopi, Sabtu (1/7/2015).

Hadir Mpu Jaya Prama Ananda (mantan wartawan Tempo) dan Made Sujaya (peliput Bom Bali dan penulis buku “Kuta dan Bom Bali”) sebagai pemateri diskusi.

Mpu Jaya Prama Ananda mengatakan, kunci untuk mewujudkan jurnalisme damai adalah wartawan harus berdamai dulu dengan diri sendiri sebelum meliput konflik sosial.

‎”Bagaimana bisa meliput jurnalisme damai, tetapi hati tidak damai. Padahal jurnalisme damai harus netral meskipun sulit,” katanya di Denpasar, Sabtu (1/8).

Dia menuturkan ‎penerapan jurnalisme damai dewasa ini menemui banyak kendala. Salah satu contohnya, faktor masyarakat yang tercermin dari tokoh politik dan pemilik media massa, sesungguhnya dalam hati sudah tidak damai lagi.

‎Menurutnya, jurnalisme damai tidak dapat diwujudkan bila hati sendiri tidak damai. Padahal jurnalisme damai harus netral meskipun sulit.

“Kita mudah tersulut apalagi soal agama, kita sudah direcoki berbagai hal ini. Apalagi tren pemberitaan kita yang disponsori siaran televis, tren semakin banyak kekerasan semakin tinggi ratingnya,” lanjutnya.

Dia menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah ketentraman hati, dan rasa empati sebelum liputan kasus kekerasan seperti ini. Belajar dari Kasus Tolikara, lebih banyak bumbu daripada inti persoalan, terutama media online.

Namun hal itu tidak bisa disalahkan, karena jurnalis mendapatkan informasi sumber-sumber dan diperparah adanya keberpihakan dari media dan wartawan.

“Intinya, sebagai wartawan meliput daerah itu siap tidak untuk berbekal hati dengan damai, karena tanpa kenetralan akan sulit mewartakan yang terjadi,” tuturnya.

Adapun Made Sujaya ber‎cerita ketika meliput peristiwa Bom Bali di Kuta, ada percikan-percikan kecil yang bisa memancing perselisihan.

“Kasus Bom Bali itu pengalaman saya bagaimana mengelola informasi banyak, sebagian ada informasi bernilai menaikkan rating dan sebagian sampah karena bisa mencederai kerukunan,” ujarnya.

Dia menegaskan kasus tersebut tidak memicu SARA tetapi dapat memicu sentimen SARA. Ia bercerita saat Bom Bali I dirinya mendapatkan  liputan mengenai aspek kultural soal bagaimana Kuta yang sejak jaman dulu sudah heterogen.

“Saya meliput bagaimana mereka ternyata sudah punya modal sosial yaitu bagaimana terbuka tapi saat Bom bali muncul prasangka-prasangka,” tambahnya.

Dalam hal ini disebutkan bahwa ‎peran media bisa menjadi motor yang kontributif. Hal yang perlu diperhatikan dan penting adalah berdamai dulu sebagai wartawan sebelum meliput. Jurnalisme damai itu suatu hal yang belum selesai namun tidak perlu khawatir karena saat ini pembaca sudah cerdas.

“Jurnalisme damai bisa mencari perspektif baru dan alternatif, dan menurut saya adalah kebutuhan kita semua,” ujarnya. SIA-MB