NEGARA, Metro Bali

Mantan Bupati Jembrana I Gede Winasa, selaku terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan mesin pabrik kompos, dituntut 6 tahun penjara dalam sidang dengan agenda penuntutan di PN Negara, Kamis (9/6) siang. Selain itu, terdakwa Winasa juga dituntut bayar denda Rp 500 juta subsider 10 bulan kurungan plus bayar ganti rugi Rp 2 miliar.

Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yuli Atmaningsih SH MHum di PN Negara kemarin, tuntutan bagi terdakwa Winasa dibacakan secara bergantian oleh trio JPU Ida Ayu Alit SH, Endrianto Isbandi SH, dan Purwanti SH. Menurut JPU, terdakwa Winasa telah melakukan tindak pidana korupsi dengan dakwaan subsider yang dapat dibuktikan. Untuk itulah, JPU minta kepada majelis hakim agar terdakwa diganjar pidana penjara 6 tahun dikurangi masa tahanan. Selain itu, majelis hakim juga diminta mewajibkan terdakwa membayar denda Rp 500 juta subsider 10 bulan kurungan.

Bahkan, JPU juga menuntut terdakwa Winasa uang penganti Rp 2 miliar. Ketika nantinya tuntutan kasus korupsi kompos ini dikabulkan majelis hakim dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, namun Winasa tidak bisa membayar uang ganti rugi, maka harta bendanya akan disita pihak kejaksaan. “Kalau tidak bisa mengganti uang pengganti, maka terdakwa dipidana penjara 3 tahun,” ujar JPU. Dikatakan JPU, hal yang memberatkan Winasa adalah terdapatnya kerugian negara akibat perbuatan terdakwa. Bahkan, terdakwa Winasa juga enggan mengembalikan kerugian negara, dalam hal ini Pemkab Jembrana, atas kasus pengadaan mesin pabrik kompos di Dusun Peh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara ini. Sedangkan hal yang meringankan, kata JPU, terdakwa Winasa berlaku sopan dan kooperatif selama menjalani persidangan.

Dalam tuntutannya di sidang kemarin, JPU juga memaparkan seputar acc untuk mencairkan dana kompos dan uang panjar buat pembayaran mesin pabrik kompos. Menurut JPU, uang panjar untuk mencicil mesin pabrik kompos tidak dianggarkan dalam APBD Jembrana. Selain itu, dana hibah sebesar Rp 2,3 miliar yang dikeluarkan tidak sesuai dengan peruntukan bertalian pengelolaan sampah. Dana hibah digunakan untuk membayar cicilan mesin kompos. Lagipula, dana hibah yang semestinya ditransfer kepada Presiden Direktur PT Yuasa Sangyo selaku rekanan pengadaan mesin kompos, justru ditransfer ke rekening pribadi Winasa sebesar Rp 853 juta. Sisanya, Rp 1,4 miliar, ditransfer kepada staf ahli bidang luar negeri Pemkab Jembrana, Putu Wardana.

JPU juga memaparkan, dalam kasus ini terjadi proyek fiktif di mana pekerjaan seakan-akan dikerjakan oleh CV Puri Bening dengan nilai Rp 496 juta. Selain itu, total dana yang dikeluarkan untuk pengadaan mesin kompos ini mencapai Rp 3,9 miliar. Sedangkan harga pembelian sebagaimana tertera dalam kontrak hanya Rp 816 juta lebih, sehingga terjadi kerugian keuangan negara hingga mencapai Rp 2,3 miliar. Sementara itu, terdakwa Winasa yang dikonfirmasi NusaBali seusai sidang kemarin, mengatakan tuntutan yang dipaparkan JPU sah-sah saja. Hanya saja, mantan Bupati Jembrana dua kali periode ini menilai tntutan JPU terkesan diulang-ulang, yakni seputar acc dan uang panjea. Menurut Winasa, dalam tuntutannya, JPU mengatakan bahwa acc pinjaman adalah pembayaran. Bagi Winasa, acc itu bukanlah pembayaran, tapi pinjaman yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sumber dana pinjaman untuk pengadaan mesin pabrik kompos berasal dari SKPD sendiri.

“Pinjaman sudah dikembalikan periode 2006-2007 lalu,” terang Winasa yang dalam sidang kemarin mengenakan baju putih bermotif batik dan celana hitam, serta hanya didampingi satu penasihat hukumnya, I Gede Nyoman Marta Antareja. Winasa juga mengkritisi tuntutan JPU yang menyebutkan soal terteranya nama Bupati sebagai pihak yang mengetahui dengan membubuhkan tandatangan dalam kontrak kerjasama pengadaan mesin kompos, dikatakan intervensi. Menurut Winasa, tidak ada dalam kamus mana pun yang menyebutkan kata ‘mengetahui’ diartikan sebagai intervensi.

“Contohnya, kalau ada yang menikah, ‘kan ada saksi. Lalu, saat pasangan suami istri ini cerai, ‘kan saksi tidak ikut bertanggung jawab,” tegas Winasa yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati. Sedangkan kuasa hukum Winasa, Gede Nyoman Marta Antareja, mengatakan tuntutan JPU terhadap kliennya tidak mempertimbangkan keterangan saksi ahli, sebagaimana telah disampaikan dalam persidangan sebelunya. Marta juga mengatakan, pengertian persetujuan atau acc, bukan berarti yang menekennya ikut bertanggung jawab atas kegiatan di SKPD. “Yang bertanggung jawab atas kegiatan adalah SKPD, sementara Bupati (Winasa) tidak terlibat di dalamnya pada kegiatan ini,” tandas Marta kepada wartawan seusai persidangan kemarin.

Dalam persidangan sebelumnya, terdakwa Winasa menghadirkan saksi ahli yang Karo Hukum Kemendagri, Prof Zudan Arif, ke PN Negara, Kamis (26/5) lalu. Dalam keterangannya, saksi ahli cenderung menguntungkan terdakwa. Waktu itu, terdakwa Winasa memberondong pertanyaan kepada saksi ahli Prof Zudan. Hampir semua pertanyaan terdakwa dijawab saksi ahli dengan runut dan sistematis. “Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan APBD kaitan dengan kepala daerah dan SKPD, siapa yang bertanggung jawab?” tanya terdakwa Winasa. Tanpa berpikir panjang, Prof Zudan memaparkan, dalam proses menejemen, ada lima tahapan yang harus dilalui: perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, penatausahaan anggaran, pertanggungjawaban anggaran, dan pengawasan anggaran. Bertalian dengan perencanaan, semua SKPD susun anggaran, lalu diusulkan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dalam perencanaan ini, kepala daerah mendelagasikan kepada TAPD untuk dibahas dengan DPRD. “Jadi tangung jawab kepala daerah hanya tandatangani Perda,” ujar Prof Zudan.

Dalam tahap pelaksanaan anggaran, kata saksi ahli, posisi kepala daerah pemegang kekuasaan umum. Sehingga, kekausaan kepala daerah didelegasikan kepada masing-masing SKPD. Terkait dengan pengawasan anggaran dilakukan kepala daerah melalui Inspektorat dan pengawas politik dalam hal ini DPRD. “Jadi, pertanggungjawaban kepala daerah sudah didelegasikan kepada SKPD,” ujarnya. Winasa sendiri resmi ditahan polisi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mesin pabrik kompos dengan kerugian negara Rp 2,3 miliar, 19 Januari 2011 lalu. Winasa mengikuti jejak lima rekannya yang telah kebih dulu diseret ke pengadilan, bahkan sudah divonis bersalah setahun lalu.

Lima terpidana kasus korupsi kompos tersebut masing-masing Nyoman Suryadi (mantan Kadis PULH Jembrana), Nyoman Gede Sadguna (mantan PPTK Jembrana), I Gusti Ketut Muliarta (mantan Direktur Perusda Jembrana), dan I Gusti Agung Permadi (rekanan yang Dirut CV Puri Bening).