Gianyar,  (Metrobali.com)

Hari ketiga, Festival Wariga Usadha Siddhi, diisi diskusi untuk membicarakan relasi antara wariga dengan sains dan teknologi,” ungkap Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud AAGN Ari Dwipayana di Taman Baca, Sanggingan Ubud, Sabtu (8/7).

Dijelaskannya, mengapa penting membaca wariga dari sains dan teknologi. Karena selama ini, masyarakat cenderung melihat wariga dari sisi budaya, mistis, magis, religius yang menyentuh rasa. Tapi sejatinya wariga juga bicara soal rasio. “Ada dimensi rasio yang kita angkat dalam wariga yang sifatnya sistematis,” jelasnya.

Gung Ari berharap, Ferry Mukharradi Simatupang MSi (Dosen Astronomi ITB), dan Ni Made Ayu Surayuwanti Putri (Peneliti Etno-Astronomi) yang memiliki background akademik di bidang astronomi bisa mengungkap bagaimana perkembangan astronomi saat ini relevansinya dengan kearifan lokal wariga Bali. “Mudahan-mudahan kita kedepan melestarikan wariga tidak hanya ikuti tradisi, tapi juga berbasis sains dan teknologi. Sehingga wariga Bali bisa menjawab isu kekinian,” harap Gung Ari.

Yang menarik dari sesi diskusi muncul pertanyaan terkait perubahan iklim saat ini. Ketika seharusnya musim kemarau justru hujan lebat mengguyur sepanjang hari. Menurut Ferry, perubahan iklim atau global warming ini terjadi karena ulah manusia itu sendiri. “Energi yang kita terima dari matahari lebih banyak terperangkap daripada yang seharusnya diserap,” ungkapnya. Penyebabnya karena efek rumah kaca. Gas karbon yang dipantulkan tidak bisa ke luar, sehingga dipantulkan kembali ke bumi. “Ini yang mengganggu siklus pergerakan udara dan air di bumi,” jelas Asisten Ahli Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung ini.

Perubahan iklim ini juga mengakibatkan badai yang harusnya biasa saja, kini daya rusaknya relatif tinggi. “April ini harusnya musim kemarau. Juli ternyata masih hujan. Ini akibat siklus iklim kita terganggu oleh energi yang terperangkap di bumi yang akan mempengaruhi pula perhitungan kalender,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan Ni Made Ayu. Bahwa global warming terjadi karena langit dipenuhi polusi asap kendaraan dan asap pabrik. “Gas karbondioksida dan nitrogen terperangkap berkumpul di atas. Ada turbulensi udara, maka cuaca akan semakin ekstrem,” terangnya.

Sebagai penutup, Moderator I Wayan Juniarta menyimpulkan bahwa kalender Bali yang selama ini diperlakukan sebagai acuan dalam keseharian ternyata dibuat berdasarkan pergerakan benda-benda langit. Diantaranya Matahari, Bulan, dan Bintang. “Filosofinya bahwa ternyata benar kita dituntun dari atas. Kapan hari baik melakukan Panca Yadnya, sungguh dituntun oleh bintang-bintang di langit,” jelasnya.

Namun, jurnalis senior ini merasa prihatin ketika apa yang dilakukan manusia di era globalisasi ini sangat berdampak pada langit. “Sawah jadi villa, sungai dipenuhi sampah plastik sehingga terjadi banjir hujan lebat tanah longsor, hancurkan rumah, pura, balai Banjar sebagai simpul-simpul titik sakral pulau Bali sudah terganggu,” ungkapnya. Dalam jangka panjang sudah terjadi perubahan secara makro. Saat cuasa seharusnya cerah berbunga, nyatanya hujan. Maka itu Jun mengajak seluruh lapisan masyarakat agar perbuatan kita di bumi tidak menghancurkan langit. “Mari pastikan perbuatan kita di bumi tidak menghancurkan langit,” pungkasnya. (RED-MB)