Bangli (Metrobali.com) –

 

Pelaksanaan Siwaratri di Kabupaten Bangli, dilaksanakan di Pura Kehen juga dihadiri oleh Ketua GOW Kab. Bangli Ny. Suciati Diar, Anggota Forkompinda Bangli, OPD dilingkungan Pemkab Bangli, Ketua PHDI Bangli, Majelis Desa Adat Kabupaten Bangli. Dan para Pemedek yang melaksanakan persembahyangan. Jumat (20/01/2023).

Wakil Bupati Bangli, I Wayan Diar mengatakan, pada hakekatnya tujuan “Brata Siwaratri” adalah untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengintrospeksi diri akan perbuatan dan tujuan kehidupan di dunia.

Oleh karenanya, melalui momentum rahina suci Siwaratri, Wayan Diar mengajak seluruh umat sedharma khususnya masyarakat di Bangli, untuk bisa mengendalikan dan mengenali diri, agar tidak terjerumus pada tujuh kegelapan diri.

Ia menjelaskan, malam Purwaning Tilem kapitu (hari dilaksanakannya rahina Siwaratri), merupakan malam yang paling gelap diantara malam. “Di alam nyata dunia mengalami kegelapan, dalam pikiran manusia juga mengalami tujuh kegelapan (sapta timira) yang membuat kita lupa diri,” terangnya.

Sapta timira dimaksud adalah Surupa atau mabuk karena wajah atau rupa yang tampan, Dhana atau mabuk karena harta benda, Guna atau mabuk karena kepintaran, Kulina atau mabuk karena keturunan, Yowana atau mabuk karena masa muda, Sura atau mabuk karena minuman keras dan Kasuran atau mabuk karena memiliki keberanian.

“Melalui Tapa, Brata, Yoga lan semadi, mari kita memohon sinar suci kehadapan ida Bhatara Siwa agar menghilangkan tujuh kegelapan dalam diri kita”ujarnya.

Pada kesempatan itu, Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra mengimbau umat sedharma bisa menjalankan brata Siwaratri, yakni jagra (tidak tidur), monobrata (tidak berbicara) dan upawasa (tidak makan).

“Jagra penuh dalam brata Siwaratri adalah tidak tidur selama 36 jam. Namun kalau tidak bisa, Jagra 24 juga bisa, kalau masih tidak bisa 12 jam juga tidak masalah, asal dilaksanakan dengan niat dan kesungguhan. Sama halnya dengan monobrata, kalau memang tidak bisa dilaksanakan, tidak masalah, asal tidak membicarakan keburukan orang dan lebih banyak berbicara tentang agama dan kebaikan,” katanya.

Begitu juga dengan upawasa, kalau tidak bisa 36 jam, 24 juga boleh, kalau masih belum bisa 12 jam juga tidak masalah, asal dilaksanakan dengan niat yang tulus dan ikhlas.

“Dalam agama hindu tidak ada kata harus. Harus begini harus begitu, karena agama merupakan keseimbangan. Kalau bisa jalankan Upawasa, Monobrata dan Jagra selama 36 jam penuh sangat baik. Kalau hanya bisa 24 jam atau 12 jam juga tidak masalah, asal dilaksanakan dengan tulus ikhlas, ”Demikian yang disampaikan disela-sela memberikan Darmawacana saat pelaksanaan Siwaratri.