Singaraja,  (Metrobali.com)-

Kemarin Sore Selasa tanggal  6 September pkl 14.00 secara mendadak berlangsung Paruman anggota Desa Linggih  bertempat di  Pura Desa Kubutambahan. Agenda paruman adalah membahas proses pengambil alihan tanah Duwe Pura Desa Adat Kubutambahan kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk kepentingan pembangunan Bandar udara.

Pada saat itu, acara berlangsung cukup tegang   karena muncul berbagai argumentasi dari para peserta  paruman  yang mana sebagian peserta yang hadir  ada yang setuju namun  banyak juga yang menolak secara halus.
Seperti yang dikemukakan oleh Jero Penyarikan / Sekretaris Desa Adat , yang menyarankan agar pengambilan keputusan yang sangat penting ini tidak bisa dilakukan secara mendadak  dan tergesa-gesa , apalagi dalam paruman ini Kelian Desa/ Ketua Desa adat tidak ikut  hadir.
Acara paruman kemarin berlangsung atas inisiatip mendadak dari Wakil Bupati Nyoman Sutjidra yang juga hadir dalam acara tersebut.
Dalam rangka melindungi kepentingan tanah milik desa adat / tanah ulayat , Menteri Agraria dan tata ruang/ Kepala BPN , pada tanggal 2 September 2020 telah mengeluarkan surat edaran ( SE) No. 319/S-300.UK.01.01 /IX/2020 dengan hal : Pengukuran dan pemetaan Tanah Ulayat Kesatuan Hukum Adat dan Larangan Pemecahan .

Jika disimak isi surat edaran diatas , maka Pemerintah memberikan perlindungan terhadap status tanah milik Desa Adat / Tanah Ulayat yang ada di Seluruh Indonesia .

Ditempat terpisah, Anton Senjaya Kiabeni, Relawan Setia Jokowi yang berpengalaman sebagai Ketua Peneliti eksistensi tanah desa adat Lemukih kabupaten Buleleng saat diminta pendapatnya, menyatakan bahwa Jika rapat/ Paruman Desa adat dengan agenda mengambil keputusan  strategis harus dan mutlak dihadiri oleh KELIAN / KETUA DESA ADAT , dan harus mendaoat persetujuan resmi dari  Kelian Adat.
Menurut dia, apalagi dalam hal pengambilan keputusan pengalihan hak milik tanah adat ini  merupakan kategori keputusan strategis dan vital.
“Ini jangan dianggap main main. Dengan demikian paruman yang berlangsung kemarin di desa Kubutambahan tidak menghasilkan keputusan yang mengikat secara hukum adat maupun hukum formal, ” kata Anton Senjaya Kiabeni. (RED)