demo buruh

Jakarta (Metrobali.com)-

Setiap 1 Mei menjadi hari spesial bagi kaum buruh di seluruh dunia karena pada saat itu mereka kerap berorasi kepada dunia, khususnya pemerintah.

Masalah yang kerap diangkat dalam aksi “May Day” itu pun masih tergolong tradisional, yaitu permintaan kepada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Terlebih di Indonesia yang masih dalam fase peralihan dari sektor agraris menuju industri, tentu sektor yang disebut terakhir tersebut turut menyumbangkan jumlah angkatan kerja yang besar.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan pada bulan Februari 2015, jumlah pekerja industri mencapai 16.380.000 orang, atau sekitar 13,55 persen dari angkatan kerja nasional.

Dengan adanya “masa transisi” tersebut, bisa dipastikan jumlah buruh atau pekerja industri di Indonesia pun akan terus mengalami peningkatan.

Sejalan dengan kondisi tersebut, pemerintah pun harus bergerak untuk terus menjaga pergeseran bidang pekerjaan tersebut agar dalam kondisi baik.

Salah satunya tentu dengan pemenuhan hak buruh berupa kenaikan upah atau komponen hidup layak (KHL), seperti yang telah disampaikan Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri.

Menteri Hanif menegaskan bahwa kenaikan upah buruh atau pekerja akan dilakukan tiap tahun, bukan tiap lima tahun demi memastikan kesejahteraan mereka.

“Tidak benar upah naik lima tahun sekali, justru per tahun harus naik,” kata Menaker di depan ribuan buruh yang berdemo di depan Istana Merdeka, Jakarta, dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei.

Hanif menambahkan bahwa pemerintah tengah menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan bersama pemangku kepentingan terkait untuk menggodok sistem pengupahan yang lebih adil bagi para buruh, tetapi tidak memberatkan pengusaha.

Apabila formula pengupahan sudah ditemukan, Hanif mengatakan bahwa pihaknya akan memberikan kepastian bagi buruh bahwa upah akan naik tiap tahun dan pengusaha mendapat kepastian karena kenaikan upahnya bisa diprediksi dan direncanakan sehingga tidak mengganggu perencanaan keuangan perusahaan.

Menaker memaparkan sudah menerima usulan mekanisme pengupahan disesuaikan dengan inflasi atau dengan berdasarkan produktivitas pekerja dan kemampuan perusahaan.

“Ada berbagai usulan formula kenaikan upah, tetapi masih kita pertimbangkan,” katanya.

Terkait dengan inflasi, Direktur riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai upah buruh terasa rendah memang akibat adanya inflasi yang tinggi.

“Rata-rata inflasi di Indonesia dari 2010–2014 sekitar 5 persen, besaran upah buruh dari 84 dolar AS yang terendah dan tertinggi 206 dolar AS. Secara riil daya belinya pun kecil,” tutur Faisal ketika ditemui di Jakarta.

Ia menjelaskan bahwa jika besaran upah dan inflasi di Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara lain di ASEAN, penghasilan buruh secara riil belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan data yang dia paparkan, besaran upah negara kawasan ASEAN seperti Vietnam ialah 98–142 dolar AS dengan inflasi 10 persen, Malaysia 215–242 dolar AS, dan inflasi 2 persen, dan Filipina 287–312 dolar dengan inflasi 4 persen.

“Jika kita lihat negara-negara tersebut, upahnya lebih tinggi tapi tingkat inflasinya juga relatif lebih rendah. Berarti upah riil dan daya beli mereka lebih tinggi daripada (upah buruh) Indonesia, kecuali Vietnam,” katanya.

Menurut dia, penentuan nominal upah seharusnya memperhatikan inflasi karena menyangkut daya beli buruh, yang ujungnya akan berdampak pada daya saing dan produktivitas industri itu sendiri.

Untuk menjaga daya saing dan produktivitas, kata dia, pemerintah harus mengendalikan inflasi, khususnya pada sektor kebutuhan pokok dan makanan.

“Pengendalian inflasi sangat penting sekali. Jika tidak dikendalikan, otomatis ada tarik-menarik antara buruh dan pengusaha. Buruh ingin menaikkan upah, tetapi pengusaha ingin menurunkan,” kata Faisal di Jakarta, Senin.

Menurut dia, jika inflasi bisa ditekan serendah mungkin, pemerintah tidak perlu menaikan upah buruh setiap tahun sehingga daya saing ekonomi industri pun akan makin baik.

“Akan tetapi, masalahnya mengendalikan inflasi saat ini sangat sulit. Kondisi harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengikuti harga pasar global menjadi fluktuatif karena inflasi kita sangat sensitif terhadap harga BBM,” tuturnya, menjelaskan.

Selain itu, dia menilai perbaikan di bidang pelayanan umum, seperti kesehatan, pendidikan, atau transportasi juga akan memberikan keringanan beban kebutuhan pokok kaum buruh.

“Kalau pemerintah bisa melakukan perbaikan pelayanan umum, bisa menekan upah buruh. Misalnya, salah satu KHL buruh kan transportasi. Kalau sudah baik, buruh tidak perlu membayar lebih,” katanya.

Berdasarkan data yang dia paparkan, rata-rata inflasi di Indonesia sejak 2010–2014 mencapai 5 persen, sedangkan besaran upah buruh mulai dari 84 dolar AS hingga 206 dolar AS.

“Sebanyak 51 persen pengeluaran per kapita itu untuk makanan, seperti beras, sayur, makanan dan minuman jadi. Sisanya (49 persen) untuk nonmakanan, seperti perumahan, bahan bakar, pendidikan, dan pakaian,” tuturnya.

Perlu Pembenahan Selain inflasi, sistem pengupahan buruh juga dinilai ikut menyumbangkan masalah tersendiri dalam dunia kerja di Indonesia.

Salah satunya ialah soal penentuan besaran upah yang dikategorikan berdasarkan unsur kewilayahan, yang mewujud dalam bentuk upah minimum regional (UMR).

Sebaiknya, menurut Faisal, penentuan besaran upah yang tepat ialah berdasarkan sektor dan skala usaha, bukan per regional.

“Pengaturan upah sudah tidak bisa lagi berdasarkan regional karena masalahnya kompleks. Perlu juga dipikirkan berdasarkan sektor dan skalanya,” kata Faisal.

Menurut dia, upah buruh pada industri padat karya tidak bisa disamakan dengan industri padat modal karena ada perbedaan margin keuntungan yang berbeda.

Selain itu, lanjut dia, penentuan upah buruh juga bisa dipertimbangkan berdasarkan skala usaha karena antara industri kecil-menengah dan industri besar memiliki kemampuan pembayaran upah yang berbeda.

Untuk penentuan besaran kebutuhan hidup layak (KHL), kata Faisal, juga harus memperhatikan kondisi iklim ekonomi atau usaha.

“Penentuannya harus lebih fleksibel, melihat perkembangan ekonomi yang sedang terjadi saat itu. Misalnya, ekspor industri sedang turun, kenaikannya bisa ditunda. Akan tetapi, jika sedang bagus, bisa dua tahun sekali,” ujarnya.

Pernyataan tegas juga dilontarkan Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) yang meminta agar pemerintah segera membenahi sistem ketenagakerjaan.

“Ini harus segera dibenahi karena sistem ketenagakerjaan kita sebetulnya sangat memprihatinkan. Upah minimum provinsi (UMP) yang seharusnya menjadi hak minimal saja masih banyak dilanggar,” kata Ketua Umum Akses Suroto di Jakarta.

Alasan Indonesia harus segera memperbaiki sistem ketenagakerjaan ialah mengingat banyak negara lain telah membenahi sistemnya menjadi lebih baik dan manusiawi.

Suroto mencontohkan di banyak negara lain kebijakan upah minimum ini masih ditambah dengan kebijakan pembatasan rasio gaji dan bahkan pemberian saham bagi buruh.

“Kita bahkan terkesan sama sekali belum menunjukkan ke arah mana sebetulnya kebijakan ketenagakerjaan kita. ‘Roadmapnya’ tidak jelas dan sepertinya bukan berfungsi untuk mengadvokasi buruh, melainkan justru turut menindas,” katanya.

Akses juga menyerukan dengan tegas agar pemerasan terhadap buruh “outsourcing” segera dihentikan.

Kebijakan ketenagakerjaan alih daya (outsourcing) yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut dia, sebaiknya segera dihapus karena sangat merugikan para buruh.

“Nasib buruh outsourcing dan buruh migran sebaiknya menjadi perhatian pemerintah karena mereka selama ini jadi korban eksploitasi terus-menerus,” katanya.

Ia mencontohkan tenaga keamanan (sekuriti) yang bekerja di satu instansi atau perusahaan itu potongan gajinya bisa sampai sepertiga dari UMP yang wajib mereka terima.

“Seharusnya hak buruh tetap menerima gajinya sesuai dengan UMP. Instansi atau perusahaan yang menyalurkan mereka sebaiknya hanya menerima bonus atau jasa dari perusahaan penyedia outsourcing,” katanya.

Ironisnya, kata dia, fakta di lapangan menunjukkan tenaga outsourcing bukan hanya mendapatkan pemotongan gaji, melainkan banyak kehilangan hak lain, di antaranya tunjangan kesehatan dan fasilitas pendidikan/perumahan.

“Kenyataan di lapangan ini sepertinya tidak pernah mendapat perhatian pemerintah dan bahkan seperti diabaikan,” katanya.

Oleh : Roy Rosa Bachtiar