Denpasar (Metrobali.com) 

 

Kejadian yang mengenaskan atas kematian karyawati Bank Mandiri Ni Putu Widiastiti (24) di Ubung Kaja yang dibunuh secara keji oleh anak belasan tahun menyisakan peringatan dan pelajaran bagi semua orang tua dan negara. Putu AHP umur 14 tahun, begitu berani bertindak menghilangkan nyawa tetangganya dengan 32 tusukan pisau. Anak harusnya duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama (SMP) ini kini dihadapkan pada kasus tindak pidana pembunuhan.

“Berdasarkan data yang kami dapatkan bahwa anak ini berasal dari keluarga ‘broken home’. Orang tuanya juga menikah saat usia masih anak-anak. Sehingga mungkin belum siap mengasuh anak. Selain itu faktor ekonomi dari keluarga miskin, anak ini juga putus sekolah (kelas IV) dan harus bekerja,” terang Eka Shanti Indra Dewi selaku Wakil Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali, & Komisioner Bidang Pengasuhan Keluarga di Renon Denpasar, Sabtu (02/01)

Eka Shanti menjelaskan, faktor kemiskinan tentu harus mendapatkan perhatian pemerintah. Dikatakan, tumbuh kembang anak yang baik tidak lepas dari kondisi ekonomi, pendidikan dan pola asuh keluarga.

Orang tua si anak juga diungkap mengalami sisi kelam. Dimana, menikah muda saat SMP. “Jika orang tuanya bisa lepas dari kemiskinan, mungkin bisa mengasuh dengan lebih baik karena punya waktu lebih banyak untuk anak. Fan anak bisa bersekolah, tidak harus bekerja. Sehingga anak menjadi baik,” terang Eka Shanti.

Orang tua si anak juga diungkap mengalami sisi kelam. Dimana, menikah muda saat SMP. “Jika orang tuanya bisa lepas dari kemiskinan tentunya bisa mengasuh dengan baik. Sehingga anak menjadi baik,” ujar Eka Shanti.

Dalam kesempatan tersebut Ketua KPPAD Bali, A.A. Sagung Anie Asmoro juga menyampaikan, pihaknya hanya mengawasi proses hukum dan prosedur pemeriksaan polisi. Mengingat katanya, anak-anak masih punya masa depan dan hak untuk mendapatkan pendidikan.

Anie Asmoro meminta kesadaran masyarakat dikarenakan Undang Undang mengharuskan, jika pelaku tindakan pidana di bawah umur mendapatkan perhatian khusus. Hal ini dijelaskan lantaran anak yang menjadi pelaku dalam sisi lain juga menjadi korban dari dari salah asuh orang tua.

Disarankan, kepada semua orang tua agar jangan sekali-kali bersikap kasar di masa tumbuh kembang anak. Keadaan ini dikatakan, bisa memicu sifat anak yang suka meniru perbuatan orang tua.

“Jangan kita sekali-kali sebagai orang tua berlaku kasar. Bahkan bertengkar di depan anak dalam masa tumbuh kembang. Jangan! Itu akan menjadi memori buruk bagi tumbuh kembang anak,” terangnya.

Sementara itu Komisioner Bidang Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Ni Luh Gede Yastini menegaskan bahwa sesuai dengan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 tahun 2012, vonis bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah setengah dari hukuman orang dewasa.

“Misalkan vonis pada orang dewasa hukuman seumur hidup atau hukuman mati, maka vonis untuk terpidana anak di bawah umur maksimal 10 tahun penjara. Anak tersebut mesti dimasukkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) ada di Karangasem. Tidak boleh dicampur dengan napi dewasa,” ungkap Yastini.

Yastini menyebutkan terkait proses hukum masa penahanan terhadap anak pun menurut undang-undang ada batasannya, rentang waktu penahanannya lebih pendek dibandingkan masa penahanan pelaku dewasa.

“Untuk kepentingan penyidikan penahanan terhadap anak dilakukan paling lama 7 hari dan dapat diperpanjang paling 8 hari. Untuk penuntutan oleh jaksa penahanan dilakukan paling lama 5 hari. Dan dapat diperpanjang paling lama 5 hari,” beber Yastini.

Yastini mengingatkan, jangan sekali-kali memosting atau mempublikasikan identitas anak dalam kasus anak di bawah umur. Diharapkan wajahnya diblur, namanya pakai inisial, alamat lengkap dan nama orang tua dari anak sebagai pelaku atau korban disembunyikan. Dikatakan, jika itu dilakukan ada pidananya.

“Pasal 19 dan 97 Undang Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, dengan ancaman hukuman 5 Tahun penjara dan denda Rp 500 juta,” tutup Yastini. (hd)