Denpasar (Metrobali.com)-

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Agum Gumelar menegaskan jika pengiriman TKI ilegal ke luar negeri berpotensi menjadi perdagangan manusia (human trafficking).

Linda menyebut trafficking merupakan kejahatan kemanusiaan yang terorganisir, sama halnya dengan kejahatan yang terorganisir lainnya seperti narkoba dan penjualan senjata. Modus trafficking di Indonesia, 70 persen berawal dari pengiriman TKI ilegal ke luar negeri.

Data terakhir menunjukkan terdapat 90,3 persen dari korban trafficking adalah perempuan. Dari jumlah itu, 23,6 persennya adalah anak-anak yang merupakan kelompok rentan terhadap kekerasan.

“Kita ingin agar data ini dari tahun semakin berkurang atau bahkan menjadi zero. Namun untuk mencapai hal itu, perlu ada kerja sama lintas sektor dari hilir hingga ke hulu,” tutur Linda saat ditemui di Hotel Aston Denpasar, Jumat 21 Juni 2013.

Dari sisi jumlah TKI yang bekerja di luar negeri, diperkirakan terdapat 6,5-9,0 juta TKI Indonesia bekerja di luar negeri. Dari jumlah itu, sekitar 20 persen menjadi korban trafficking. Selanjutnya, faktor penyebab trafficking sebagian besar karena faktor kemiskinan, adanya “demand” yang mengikat dari negara/wilayah penerima dan tingginya profit yang diperoleh bagi pebisnis buruh migran.

Selain itu, human traficking juga berasal dari pernikahan usia muda, perkawinan kontrak dan sebagainya. Biasanya karena nikah muda, kawin kontrak, maka mereka dengan mudah diceraikan. Lantas, mereka akhirnya bekerja menyambung hidup sebagai pelayan karaoke, PSK dan lainnya.

“Ini juga bagian dari human trafficking dan sulit terjangkau atau tersentuh kontrol dan hukum,” katanya.

Modus untuk human trafficking saat ini juga makin canggih yakni melalui dunia maya. Mereka bisa bertransaksi secara online. Aparat pun sulit mengendus transaksi secara online tersebut. Namun demikian, aparat sudah melakukan banyak hal untuk meminimalisir berbagai modus yang sudah ada.

Dalam pelaksanaannya sudah ada kemajuan yang cukup berarti di antaranya adalah dibentuknya berbagai lembaga/unit maupun pusat perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia, di mana traffiking merupakan salah satu bagian dari kekerasan itu.

Hingga kini, kata Linda, tercatat 25 pemerintah provinsi dan 83 kabupaten/kota telah mengalokasikan anggaran daerah untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Juga, katanya, sudah terbentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak korban kekerasan (P2TP2A) di 27 provinsi dan 197 kabupaten/kota.

“Sudah terbentuk gugus tugas trafficking di 27 propmvinsi dan 88 kabupaten/kota,  sudah terbentuk 123 lembaga layanan korban kekerasan berbasis rumah sakit dan terakhir sudah terbentuk unit perlindungan perempuan dan anak atau UPPA di 456 Mapolres di Indonesia,” papar Linda. BOB-MB