Denpasar (Metrobali.com)-

 

Berbagai komunitas di Bali berkumpul dan mengekspresikan dukungannya terhadap perjuangan petani Pakel. Acara juga diisi dengan penampilan ‘bebunyian’ dari Chaos Non Musica ini digelar di Haluan Coffee Space pada Minggu, 19 Februari 2023.

Para penampil mengekspresikan kepeduliannya dengan musik eksperimental, mulai dari Yami No Oto, Usada Putra, Dosed, dan Sanglah Slayer.

Selain itu mengalun suara-suara yang disusun dalam sebuah sajak yang dihadirkan oleh EL CHE dan Toetoepbotol.

Lalu ada Badiktilu dengan musik akustik dan lagu-lagunya yang terinspirasi dari perjuangan warga. Berbagai penampilan ini juga dipercantik dengan visual mapping dari Alanayana.

Bentuk ekspresi dalam visual juga dilakukan oleh komunitas Omah Laras yang dalam acara Solidaritas untuk Pakel ini mengadakan lokakarya cukil.

Sebagai upaya diseminasi informasi gerakan Pakel, acara ini pun dilengkapi dengan pemutaran film dokumenter, pameran foto dan poster perjuangan warga Pakel.

Selain itu juga ada lapak buku dan karya dari Perpustakaan Jalanan Denpasar, Omah Laras, dan Chaos Non Musica.

Antusiasme terlihat dari banyaknya masyarakat yang hadir di acara solidaritas ini. Fakta yang membuktikan bahwa kriminalisasi yang dilakukan negara kepada warganya, justru memperkuat ikatan antar warga.

Bahkan kegiatan untuk berbagi dan mendengar langsung kabar dari Pakel sangat dinantikan. Maka dari itu, diskusi secara hybrid dilakukan dan mengundang langsung warga Pakel dan tim hukum warga Pakel, termasuk pemuda Pakel yang turut menjaring solidaritas di berbagai kota.

Sri Mariyati menceritakan tentang situasi terulang yang ia alami. Dulu kakeknya pernah ditangkap karena memperjuangkan hak warga Pakel, dan kali ini anaknya mengalami hal yang sama. Bahkan pada tahun 2000, Desa Pakel sempat dicap sebagai desa janda.

“Pejuang yang laki-laki ditangkap, termasuk kakekku. Setelah itu yang jadi tulang punggung itu para perempuan. Banyaklah ibu-ibu yang sama pedihnya. Ada yang pulang ke rumah orang tuanya ada juga yang tetap bertahan di rumah dengan makan seadanya,” ungkap perempuan yang kerap disapa Mbak Mar.

Tim Hukum untuk Warga Pakel, Taufiq Tauqurochim mengatakan bahwa tiga petani Pakel yaitu Mulyadi, Suwarno, dan Untung masih ada di rumah tahanan Polda Jawa Timur.

“Mereka dikenakan tuduhan pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964. “Pasal ini sering dipakai membungkam masyarakat, aktivis, dan teman-teman jurnalis,” kata pria yang juga aktif di LBH Surabaya ini.

Melalui pasal tersebut, ketiga petani ini dianggap telah menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran.

Padahal jika dilihat dari sejarahnya, tanah yang mereka hidupkan dan dihidupkan itu tanah yang secara legalitas mereka miliki. Secara resmi, pada 11 Januari 1929 warga menerima Akta 1929 yang mengizinkan mereka untuk membuka hutan seluas 4000 bahu.

Namun, kawasan dalam Akta 1929 dirampas oleh Perhutani dan PT Bumi Sari pada masa Orde Baru. Selain itu, dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri nomor SK.35/HGU/DA/85, dijelaskan bahwa PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU seluas 1189,81 hektare: terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon.

Dengan demikian, jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel. Taufiq juga menambahkan, “akta 1929 bagi saya sah, legalitas. Karena dalam asas hukum tata negara, jadi selama keputusan itu dibuat oleh pejabat dan tidak pernah dihapus, maka hak itu masih dinyatakan sah.” katanya.