Denpasar (Metrobali.com)-
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merespon cepat pengaduan pemilik Hotel Bali Kuta Risidence (BKR) Kuta. Langkah cepat wakil rakyat itu ditunjukkan dengan kedatangan Komisi VI yang membidangi ekonomi, BUMN ke hotel BKR, Kamis (21/6) malam.

Ketua Komisi VI, Arya Bima didampingi anggotanya, Nyoman Damantra tiba di hotel disambut komisaris BKR, I Gusti Agung Made Agung, karyawan, Bendesa Adat dan salah seorang pemilik unit BKR, Agus Putra Handoko dengan berpakaian adat madya. Turut hadir dalam pertemuan itu, kuasa hukum BKR, Agus Samijaya,SH, MH, Ika Nedy Wahyudi,SH.

Dalam pertemuan itu, Arya Bima menyatakan sudah memahami laporan BKR, tapi untuk memperjelas duduk persoalan dalam kasus ini, pihaknya dalam waktu dekat ini akan memanggil direksi dan komisaris BNI 46. Dari pemanggilan itu, Komisi VI berharap BNI bisa menerangkan persoalan sebagaimana diadukan oleh BKR. Pihak BKR serta beberapa pihak terkait akan diundang guna dimintai keterangan agar persoalannya menjadi terang. “Kita perlu meminta keterangan pihak terkait masalah ini, agar semuanya jelas,”ujar Arya Bima.

Dijelaskan Arya Bima, dalam perkara ini, masyarakat dan pengusaha Bali jadi korbannya. Perbankan lanjut politisi PDIP itu harus membina masyarakat dan pengusaha bukan sebaliknya. “Kasus ini desa adat jadi korbannya. Padahal bank harus melakukan pembinaan,”tegas Arya Bima.

Oleh karena itu, Komisi  VI bakal mengambi langkah-langkah diantaranya, secara hukum dan politis. Langkah hukum dengan mecancu ke aturan perbankan nasional. Sedangkan terkait dengan indikasi adanya mafia kepailitan dalam kasus ini, dijelaskan politisi yang dikenal vokal itu, bank harus mengambil tindakan administrasi. “Makanya kita perlu mendengarkan keterangan dari komisaris dan direksi bank ada tidaknya unsur-unsur ke arah itu,” imbuh Arya Bima.

Ditanya soal tim investigasi sebagaimana direncanakan sebelumnya, Arya Bima menerangkan belum mengambil langkah itu dalam jangka pendek ini. Begitu juga dengan rencana merevisi UU Kepailitan, wakil rakyat dari Jateng itu mengatakan belum mengarah ke arah itu. “Ya kita ingin dengar dulu BNI yang diduga terlibat kasus ini, baru kita ambil langkah-langkah selanjutnya,” terangnya.

Dalam kasus ini, BKR telah mendapatkan dukungan warga Desa Adat Kuta untuk melakukan perlawanan pada pihak-pihak yang diduga terlibat dalam mafia kepailitan. Pasalnya, di Bali kasus serupa cukup banyak. Sebelum hotel BKR, hotel Aston Tanjung Benoa, Hotel Niki Denpasar, Aston Denpasar, Blue Eyes juga dipailitkan. Dewan sepakat untuk menghentikan masalah ini agar tidak jatuh korban berikutnya.

“Pengusaha atau investasi harus dilindungi,”tegas anggota komisi VI Nyoman Damantra saat menerima laporan BKR kala itu. Kedatangan Komisi VI ke BKR itu sebagai tindak lanjut dari pertemuan dengan anggota FPDIP Nyoman Damantra di DPR RI, Jakarta.  Sebelum mengajukan pengaduan ke DPR RI, BKR sudah mengajukan pengaduan ke Komisi I DPRD Bali. Sayangnya, pengaduan BKR itu tidak direspon Dewan Bali sebagaimana diharapkan. Malah, Ketua Komisi I, Made Arjaya yang kala itu berjanji akan menindaklanjuti serta mendorong keluarnya rekomendasi dewan tidak mengambil langkah apa-apa selain diam.

Secara hukum formasl, BKR sudah melaporkan PT KIM ke Polda Bali 12 April 2012 dengan pelapor Direktur BKR, MV Handoko Putra. Nasrun diduga melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu dan atau pemalsuan surat dan atau penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 242,263 atau 372 KUHP. Selain itu, Anton Wiajaya, pemilik unit BKR melaporkan kurator Heri Subagyo,SH dan Drs. Joko Prabowo,SH,MH telah melakukan pemalsuan surat, penggelapan dan kejahatan paksaan dan undang-undang tentang kepailitan dan kewajiban pembayaran utang. Pemilik BKR lainnya, Vidi Handoko melaporkan Warda Nadjamuddin, Pjs Pemimpin Sentra Kredit Menengah PT BNI. Warda diduga melakukan pemalsuan surat, penggelapan, kejahatan paksaan sebagaimana diatur dalam KUHP dan undang-undang tentang kepailitan dan PKPU.

Para pemilik BKR perlu melaporkan Nasrun, kurator dan Warda dengan alasan mereka itu disinyalir bersekongkol dalam proses pemailitan hotel BKR. Oknum lain yang turut dilaporkan adalah hakim PN Surabaya, AF dan lainnya sedangkan oknum lain seperti HS, YA, dan EL yang selalu disebut-sebut  pemilik BKR ikut terlibat masih dalam proses. “Pada intinya, siapapun yang terlibat harus mempertanggungjawabkan sesuai hukum yang berlaku,” kata Agus Samijaya.

Sejatinya, perjuangan BKR mencari keadilan bukan hanya ke Mapolda Bali saja. Awal kasus ini mencuat, pemilik disertai warga Desa Adat Kuta sudah mengadu ke Dewan Bali. Apesnya, wakil rakyat di Renon itu hanya bisa berjanji tanpa melakukan langkah nyata. Made Arjaya,Ketua Komisi I yang menerima rombongan BKR hingga kini juga tidak mengeluarkan rekomendasi sebagaimana dijanjikan. Terkait dengan BNI yang turut serta menjadi pemohon pailit, dan menyita sertifikat 104 unit milik masyarakat diluar hak tanggungan utang BKR juga pernah didatangi. Bahkan, pemilik dan warga Kuta beberapa hari berunjukrasa di BNI Renon. Pun demikian, bank milik pemerintah itu tetap bersikukuh  tidak bersedia menyerahkan 104 sertifikat itu ke pemilik BKR.

Tidak berhenti disitu. BKR selanjutnya mengadukan masalah ini DPR RI di Jakarta. Nyoman Dhamantra dari Fraksi PDIP berjanji akan menurunkan tim investigasi khusus kasus BKR. Wakil rakyat dari Bali itu sepakat untuk menyelesaikan masalah ini agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Lebih dari itu, bila mafia kepailitan terus bergerak bisa mengganggu stabilitas keamanan, ekonomi dan investasi di Bali. Kedepan, Dhamantra juga berjanji melakukan revisi undang-undang kepailitan supaya iklim investasi berlaku secara adil. “Kemana lagi kami harus mengadu dan meminta perlindungan kalau tidak ke wakil rakyat, tolonglah kami yang membangun hotel dengan susah payah harus direbut orang-orang dengan seenaknya,”harap I Gusti Agung Made Agung,komisaris BKR pada Nyoman Damantra kala itu.  NK-MB