Ilustrasi

Oleh : Jro Gde Sudibya

Proyek yang bernama Hidden City Ubud, proyek fasilitas wisata di Desa Adat Pengosekan, ramai mendapat protes dari netizen yang mengaku krama dari desa tsb.
Diberitakan, proyek yang telah mengusik ketenangan warga karena telah merusak lingkungan, status proyek tidak diketahui warga termasuk prajuru Desa Adat, izin proyek belum ada, tetapi proyek terus dikerjakan siang – malam, yang menurut berita di medsos telah mengganggu ketentraman warga.
Dari kasus ini, kembali krama Bali diingatkan, akan nama otentik Ubud yang diberikan oleh Ida Rsi Mankandya sebagai UBAD, tempat yang “menyembuhkan” karena ketenangan dan kedamaian akibat “bauran” intisari Panca Maha Butha di kawasan tsb. Perjalanan Sang Rsi “Metirtha Yatra” di Bali “Pertengahan” menuju “tengahing ” Pulau Bali, Payangan, baca “Ngepah Hyang”, “nyujuh sunya” ring Giri Toh Langkir. Singkat cerita Ubad sekarang menjadi Ubud, dalam bahasa ke kinian, tempat yang terberkati – blezed sacred place -, lengkap dengan peninggalannya, menyebut beberapa, Pura Campuhan dan Pura Pucak Kadewatan.
Berangkat dari keyakunan ini, panitia pesamuan Parisadha Hindu Bali yang melakukan rapat di Fakultas Sastra Unud di Denpasar memilih Campuhan Ubud sebagai tempat “final” pada tanggal 23 Februari 1959, merumuskan kesepakatan Campuhan yang memuat pegangan Dharma Agama dan Dharma Negara bagi umat Hindu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan dalam menjalankan Dharma agamanya. Tanggal 23 Februari 1959 dengan Piagam Campuhan, kemudian diperingati sebagai hari lahirnya PHDI yang ada sampai sekarang.
Tantangan untuk merawat Ubud tetap sebagai Ubad (tempat yang “menyembuhkan” karena ketenangan dan kedamaian yang menyertainya), menyebut beberapa, pertama, “krama ring sawewengkon” kecamatan Ubud, merawat “drestha” tsb.secara benar dan bertanggung jawab, tidak “mempertukarkan” kedamaian melekat ini, dengan nilai ekonomi kebendaan yang sarat kesekalaan. Memberikan kenikmatan sekala jangka pendek, “menghancurkan” rasa kedamaian dalam jangka menengah dan jangka panjang. Kedua, merumuskan detail tata ruang kecamatan ini, menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, RTRW Kecamatan Ubud, dengan penegakan hukum ketat yang juga diawasi krama, sebagai wujud partisipasi masyarakat. Dalam studi pembangunan disebut dengan Development by Social Participation. Ketiga, Peta Jalan (Work Map) dari Kecamatan Ubud semestinya segera dirumuskan, disosialisasikan dan dijalankan dengan konsisten, “manut drestha” yang ada, sebut saja yang “terwariskan” di Campuhan Ubud, Singakertha dan Desa Mas. Nilai-nilai dasar kebudayaan yang otentik Bali, yang harus dijaga dan menjadi instrumen dasar dalam mengelola kinflik kepentingan antara sosialisme religius yang telah lama mentradisi dengan modernisme, globalisme yang berciri kuat kapitalisme sekuler.

Tentang Penulis : Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, penulis buku Agama Hjndu dan Kebudayaan Bali.