Ilustrasi : Perang Beratha Yuda

Denpasar (Metrobali.com)-

Dalam perspektif Ramayana dan Asta Dasa Parwa, manusia dengan karakter raksasa, menjadi tugasnya menghalangi seluruh jalan dharma. Bagi manusia berkarakter raksasa, kewajiban “dharma” nya melawan kebaikan, dan asuba karma adalah pilihan hidupnya.

Hal tersebut dikatakan pengamat budaya Jro Gde Sudibya kepada Metrobali.com, Sabtu (11/2/2023).

Jro Gde Sudibya mengajak masyarakat dan pemimpin di Bali menyimak dialog Prahasta ( raksasa patih Rahwana) dengan Anoman (prajurit perkasa nan setia) Prabu Rama.

Prahasta berucap: “dharma seorang raksasa adalah menghalangi seluruh perbuatan baik, tolok ukur benar – salah berbeda dengan Hanoman, simbolik manusia pemegang teguh kebenaran.

“Dari sari pati kedua Itihasa di atas, kita bisa menyimak realitas sosial yang didominasi manusia dengan karakter raksasa. Alam dan manusia yang melakukan kebaikan (mepekardi ayu) dibuat menderita, dan di seberang sana “berpesta pora”. Tetapi “perang” di “padang kuru” harus dimenangkan, kalau tidak ingin alam pralaya,” kata Gde Sudibya.

Dikatakan, viveka (kecerdasan pembeda) rwa bhineda diperlukan, kemudian dibumikan melalui perbuatan nyata suba karma. Karakter raksasa tidak bisa dilawan dengan wacana “kelas” para Dewa, tidak nyambung, “nyaplir” dan gagal.

“Dalam perspektif Astadasa Parwa diperlukan kesatria gagah nan berani dan rela berkorban sekelas Abimanyu, kesatria cerdas dan fokus sekelas Arjuna, seberani Bima. Kalau tidak, pertempuran dimenangkan oleh musuh dan alam pralaya,” kata tokoh yang kini viral di medsos karena kritik-krtiknya  yang pedas kepada penguasa Bali.

Adalah pesan yang disampaikan oleh Rsi Bhisma di atas papan dari panah yang disiapkan cucunya Arjuna. Pesan kepada para cucunya, terutama Pandawa khususnya Yudistira, sebelum wafat di Kurusetra, menunggu matahari bergerak menuju Utara (ngutara yana). Pesan kerahayuan bagi insan-insan manusia di jalan Dharma.

Di Bali kita mengenal peristiwa Puputan, Puputan yang heroik. Puputan Jagaraga yang dipicu dari keberanian Jro Jempiring (berpakaian laki-laki) merobek-robek perjanjian Tawan Karang di hadapan serdadu Belanda, Jro Jempiring gugur di tempat, pertempuran Jagaraga yang heroik dimulai.

Masih segar dalam ingatan masyarakat Bali, Puputan Margarana yang heriok, 20 November 1946 yang dipimpin Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai). Puputan yang terjadi pasca Pak Rai dkk. melakukan long march ke Gunung Agung. Pada saat kembali dari Gunung Agung, berhenti di Alas Wanagiri Buleleng, menurut penuturan Pak Kt.Wijana (Pak Item), sorot mata dari para grilyawan putra putra terbaik bangsa ini amat sangat tajam, yang kemudian semua gugur demi ibu pertiwi tercinta. Sorot mata ini selalu dikenang oleh rekan-rekannya, sampai mereka wafat. (SUT-MB)