Keterangan foto: Rembuk Nasional Pimpinan (Perguruan Tinggi) PT se-Indonesia serangkaian acara Rembuk Nasional Peringatan Setahun dan Tindak Lanjut Deklarasi Nusa Dua di Kantor LLDikti Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) Wilayah VIII, Denpasar, Kamis siang (27/9/2018).

Denpasar (Metrobali.com)-

Hasil Rembuk Nasional Pimpinan Perguruan Tinggi (PT) se-Indonesia serangkaian acara Rembuk Nasional Peringatan Setahun dan Tindak Lanjut Deklarasi Nusa Dua yang digelar bdi Kantor LLDikti Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) Wilayah VIII, Denpasar  Kamis siang (27/9/2018) merumuskan sejumlah rekomendasi bagi pimpinan PT. Khususnya terkait upaya mencegah atau menangkal radikalisme di kalangan civitas akademika melalui penguatan pemahaman dan pendidikan Pancasila melalui cara-cara kekinian sesuai karakteristik generasi milenial.

Pernyataan sikap dan rekomendasi ini disampaikan penggagas dan koordinator kegiatan Dr. Ida Bagus Radendra Suastama, S.H., M.H. Dihadiri pula pimpinan perguruan tinggi dan SC (Steering Commitee) yang menggagas “Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme” dalam Pertemuan Pimpinan Perguruan Tinggi (PT) se-Indonesia di Nusa Dua, 25-26 September 2017 lalu.

Generasi milenial perlu diajak dan dilibatkan untuk merancang metode penyampaian materi empat konsensus kebangsaan yakni UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI dan bahaya radikalisme agar sesuai denhan karakter generasi dan lebih efektif tertanam dalam benak mereka.

“Selain itu penyampaian materi Pancasila perlu lebih inovatif, berorientasi praktek/penerapan, gaya komunikasi visual, fun (menyenangkan), kaya content, dan disampaikan melalui media komunikasi viral terkini,” papar Radendra.

Rembuk Nasional Pimpinan PT ke-2 ini juga memandang perkembangnya paham radikal salah satunya berawal dari kemiskinan akibat perilaku korupsi pejabat publik, pemimpin nasional & daerah. Di sisi lain, para pemimpin pusat & daerah tersebut  dipilih melalui sistem demokrasi. Paradoksal inilah yang sering dijadikan argumentasi para penganut paham radikalisme akan kegagalan sistem demokrasi, untuk kemudian diganti dengan sistem lain.

Indikasi adanya kelompok-kelompok radikal dan intoleran di kampus biasanya diawali dari sikap dan pola interaksi mereka yang cenderung eksklusif dan merasa superior di antara kelompok  lainnya.

“Untuk itu dipandang penting didirikan pusat-pusat studi Pancasila di kampus-kampus sebagai wadah pengkajian  dan perumusan kurikulum pengajaran dan pendidikan Empat Konsensus Kebangsaan dengan metode kemasan dan komunikasi yang sesuai dengan generasi sekarang,” papar Radendra yang juga Ketua Yayasan Handayani Denpasar itu.

Selain itu juga perlu dimasukkan materi pendidikan agama, bela negara, dan Pancasila dalam seleksi dosen dan pengurus organisasi kemahasiswaan. Secara reguler juga perlu diadakan pelatihan dan refreshment bagi dosen pengajar khususnya mata kuliah Pancasila & bela negara, sekaligus untuk menemukan metode-metode pengajaran baru yang lebih  inovatif.

Penting juga kerjasama antar pimpinan program studi di dalam kampus maupun antarkampus untuk mencegah berkembangnya radikalisme dan paham-paham intoleransi. Termasuk bekerja sama dengan pemerintah daerah, kementerian pertahanan, dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

PT juga diminta menegakkan secara tegas aturan & SOP internal PT manakala terdapat indikasi  penyimpangan pengajaran oleh dosen, yang mengarah pada bentuk-bentuk penentangan terhadap Pancasila.

Masuknya paham radikal dan intoleran biasanya dibawa oleh para senior mahasiswa dan/atau alumni  melalui kegiatan organisasi ekstra kampus. Organisasi esktra kampus inilah yang kemudian mendirikan unit-unit organisasi yang (baik langsung, maupun tidak) berafiliasi kepadanya.

Ironisnya, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan internal ini didanai oleh internal kampus. Untuk itu pimpinan PT perlu mengupayakan peningkatan anggaran kegiatan kemahasiswaan, agar mereka  tidak perlu lagi mencari sumber pendanaan dari luar kampus (individu, kelompok, organisasi) yang rentan menyusupi kepentingan dan paham-paham intoleran.

Di sisi lain mahasiswa yang juga merupakan bagian generasi milenial sangat membutuhkan keteladanan dari pemimpin bangsa, orang tua, pimpinan PT maupun dosen pengajara di tempat mereka belajar. Jujur, dan tidak korupsi adalah nilai-nilai yang harus ditunjukkan dalam tindakan sehari-hari. Generasi milenial juga perlu memperoleh pendidikan budi pekerti, penghormatan pada hierarki, disiplin, toleransi, dan cinta tanah air sebagai fondasi menerapkan sikap hidup Pancasila.

Cara mendapatkan keteladanan bisa bisa dengan memunculkan kisah dan tokoh inspiratif yang memiliki keteladanan, prestasi, dan

pengorbanan. Mereka ini lalu diekspose secara masif melalui media-media komunikasi terkini: medsos, media viral.

Rembuk Nasional ini harus dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan serupa yang melibatkan lebih banyak lagi pimpinan PT dan mahasiswa, baik berupa FGD, seminar, workshop lainnya.

Pewarta : Widana Daud

Editor : Whraspati Radha