Ilustrasi
Oleh I Gde Sudibya
Program swasembada pangan menjadi tuntutan kebutuhan yang sangat mendesak di era pandemi Covid-29 ini. Program ini perlu segera diwujudnyatakan dengan serius dan hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat Bali.
Program swasembada pangan ini perlu direalisasikan oleh pemerintah pusat dan daerah karena berdasarkan sejumlah pertimbangan.
Pertama. Sebagai kompensasi dari kebijakan “sapu jagat”, Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menonjolkan liberalisasi ekonomi. Diperkirakan akan berdampak terhadap naiknya kesenjangan pendapatan dan penguasaan harta produktif nasional. Program swasembada pangan yang memihak masyarakat petani, mengakomodasi kepentingan masyarakat bawah non petani, diperkirakan akan sedikit mengoreksi ketidak-adilan ekonomi dari liberalisasi pasar akibat penerapan Omnibus Law. Kesenjangan ekonomi yang tinggi dalam masyarakat yang social trust nya rendah,  ekonominya begitu terpuruk akibat pandemi , berisiko meningkatkan ketidak-stabilan politik.
Kedua. Program swasembada pangan untuk: beras, kedele, garam, bawang putih, gula, sapi, kerbau dan produk pangan lainnya, diharapkan meningkatkan produktivitas di sektor pertanian dan bisa memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan multiplier effect ( angka pengganda ) penciptaan pendapatan.
Ketiga. Persoalan ketahanan pangan nasional, bukan semata-mata persoalan ekonomi dalam negeri, tetapi menyangkut posisi tawar politik di era ketidakpastian geo politik global, yang semakin sulit diprediksikan di era pandemi dan sesudahnya. Swasembada pangan juga menyangkut harga diri dan kebanggaan sebagai bangsa, national pride.
Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan sinis sekaligus menantang, di menjelang 100 tahun usia Republik, yang mendiami daerah katulistiwa, dengan limpahan sinar matahari sepanjang tahun, curah hujan cukup, tanah subur nan luas, masak bangsa ini tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan warganya. Sekaligus membuktikan diri, elite yang berkuasa sekarang, mampu membayar janji kampanyenya, tentang ideologi Soekarno Tri Cakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Sekaranglah waktunya, melalui kebijakan dan prestasinya, ( sebagian ) para elite ini membuktikan dirinya sebagai “anak-anak” ideologis Soekarno.
Sementara jalan tol Denpasar-Gilimanuk dan bandara Bali Utara (Buleleng) sebagai proyek prestisius pemerintah daerah Bali adalah paragdima lama pariwisata sebelum pandemi.
Paragdima baru pariwisata pasca pandemi, kita tak seluruhnya tahu, dan kemungkinan akan mengalami perubahan besar. Semestinya, proyek-proyek besar ini, dikaji ulang kelayakannya dan urgensinya terutama dari perspektif penyelamatan ekonomi masyarajat Bali.
Dana-dana proyek-proyek ini, semestinya untuk pengembangan agribisnis di sektor pertanian, pengolahan hasil pertanian: cengkeh, coklat, vanili, aneka buah-buahan dalam proses manufactur dengan teknologi tepat guna.
Selanjutnya, pemerintah terus menerus melakukan investasi jaringan integrasi IT yang memungkinkan kalangan mileneal yang bergerak di industri manufacture, petani keren dan usaha rintisan lebih mudah memasuki ekonomi digital.
Investasi untuk rintisan industri yang berkaitan dengan kecerdasan buatan di era algorithma komputer, di kawasan tanah yang tidak produktif, sehingga lebih memungkinan generasi baru Bali, mendapatkan transfer teknologi yang berkaitan dengan: kecerdasan buatan, teknologi robotic dan penguasaan big data. Mengikuti filosofi: pemimpin adalah  memutuskan dan menciptakan masa depan untuk generasi berikutnya.

Untuk merealisikan program tersebut di atas Pemda Bali semestinya melakukan lobi ke kementrian Perdagangan, Perindustrian, sehingga harga produk: cengkeh, vanili, coklat, kelapa dan produk lainnya sedikit naik harganya. Kementrian yang bersangkutan bisa mempengaruhi harga dari produk yang bersangkutan ini akan menaikkan pendapatan petani.
Untuk mencari tambahan modal kerja pemda Bali semestinya juga melakukan lobi ke Kementrian Keuangan, OJK.dan BI,agar usaha terutama UMKM yang bergerak di industri pariwisata, diselamatkan, dihindarkan dari risiko kebangkrutan.
I Gde Sudibya, penulis yang tinggal di Denpasar, Bali