Denpasar, (Metrobali.com)

Presiden dalam pengarahannya di sidang kabinet, Rabu (12/10) tadi siang di Jakarta mengungkapkan paling tidak ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian terkait dengan perkembangan ekonomi global. Ekonomi dunia sebenarnya sudah terkena badai. Bahkan sejumlah negara dari segi keuangan sudah menjadi “pasien” IMF.

Ketiga hal itu adalah :

1. Kondisi ekonomi global semakin sulit dan semakin sukar diprediksi, menurut info yang diterima Presiden ada 28 negara yang akan mengajukan permintaan bantuan ke IMF, karena tekanan fiscal yang dihadapi.

2. Lebih hati-hati dalam perumusan kebijakan, kebijakan harus sampai detail untuk menjamin terselesaikannya persoalan riil di lapangan, termasuk mempercepat realisasi anggaran belanja barang dan pembangunan.

3. Perlu dilakukan stres test untuk mengukur kemampuan/daya tahan ekonomi menghadapi goncangan, sehingga perlu dipersiapkan skenario dalam penanggulangan.
Terhadap arahan Presiden ini dapat diberikan catatan.

Beranjak dari tiga catatan itu, jika sampai 28 negara akan mengajukan bantuan keuangan ke IMF secara hampir bersamaan, menggambarkan derajat keparahan keuangan sejumlah negara begitu massif, sehingga segera akan berdampak pada negara lainnya dan bahkan kontur ekonomi global.

Di sinilah perlu kehati hatian dalam menggunakan anggaran baik anggaran daerah dari APBD maupun anggaran nasional dari APBN. Percepatan realisasi anggaran belanja barang dan pembangunan, menuntut birokrasi dengan “sense of crisis”yang tinggi, ucapan yang sering diucapkan Presiden, tetapi realisasinya kurang efektif.

Perlu ditetapkan reward and punishment system untuk menjamin realisasi anggaran berlangsung lebih cepat.

Oleh karena itu, siapa pun yang merancang anggaran tersebut tidak boleh sembroni. Apalagi anggaran tertumpu kepada kepentingan politik. Di Bali misalnya, banyak serapan anggaran dari PEN, APBN dan APBD hanya kepentingan elektoral pemimpin Bali dua periode. Kebijakan pengguna anggaran mesti kuat di detail, pemberi solusi di lapangan, mempersyaratkan kebijakan publik yang berempati pada rakyat, trampil dalam perumusan dan implementasi dari kebijakan teknokratis, dengan tolok ukur yang jelas: target, jadwal waktu dan indikator kinerja.
Kebijakan yang sifatnya terlalu umum, sebatas daftar keinginan -list of wants- dan sarat himbauan dan seremonial adalah pemborosan.

Oleh karena itu, Stres test dalam mengantisipasi krisis ekonomi sangat diperlukan. Test terhadap daya tahan ekonomi jika mengalami krisis dan antisipasi tindakannya. Kalau penggunaan dana anggaran APBN dan APBD tidak terukur dan tidak detaik maka yang akan menanggung beban ekonomi adalah rakyat dengan kelas ekononi menengah ke bawah.

Sebut saja jika inflasi pangan di atas 10 persen, bagaimana kesiapan pemerintah untuk menanggulanginya dari sisi pengendalian harga dan jumlah orang miskin yang bertambah.
Jika komoditas unggulan seperti Kelapa Sawit, Batu bara mengalami tekanan harga, bagaimana dampaknya terhadap cadangan devisa dan tekanan fiscal dalam APBN dan juga tingkat kurs Rupiah.

Jika suku bunga acuan BI sudah dinaikkan tetapi inflasi tidak turun, apa langkah lanjutan yang perlu dulakukan untuk menekan inflasi, pada saat bersamaan hambatan pasokan barang dan produksi tidak terganggu.

Stres test dan tindak lanjutnya memerlukan kecerdasan kebijakan, empati pada rakyat dan kecerdasan dalam melakukan komunikasi publik.

Penulis : Jro Gde Sudibya, ekonom dan pengamat kebijakan ekonomi.