Denpasar (Metrobali.com)-

Ada tiga hal yang menarik perhatian senator kelahiran Desa Pidpid Karangasem, Wayan Sudirta, di sela-sela reses bulan Juli 2013 ini. Tiap hari senator kelahiran Desa Pidpid Karangasem itu masimakrama dengan warga di 4 sampai 6 dusun  per hari, tersebar di Kab. Tabanan, Badung, Klungkung, dan Karangasem.  Ia mendengar dan menyerap suara hati rakyat, tapi juga mensosialisasikan program-program kerjanya sebagai senator bersama organisasi yang mengusungnya, yakni KORdEM, Koalisi Ornop dan Eksponen Masyarakat untuk Demokrasi Bali.
”Sangat kami sesalkan, kesan yang kami peroleh selama masimakrama rupanya suara-suara rakyat seringkali diabaikan. Misalnya dalam kasus yang berkaitan dengan reklamasi Teluk Benoa, Geothermal Bedugul dan rencana lokasi bandara baru di Buleleng, keputusan dan rekomendasi pejabat sepertinya memandang sebelah mata terhadap rakyat,” kata Sudirta, dengan mimik serius.
Soal Geothermal Bedugul, yang kembali diwacanakan Menteri ESDM Jero Wacik, dan disebut-sebut tetap akan dilanjutkan apalagi disebut sudah tidak ada lagi penolakan di Bali, Sudirta mengingatkan, pernyataan Jero Wacik tak mencerminkan sikap yang mendalami bagaimana megaproyek tersebut secara historis telah ditolak di Bali. Ada penolakan sejumlah eksponen masyarakat dan komunitas berdasarkan alasan sosial keagamaan maupun lingkungan hidup, PHDI Provinsi Bali, 4 Anggota DPD RI 2004-2009, beberapa Sulinggih Hindu, termasuk Surat Keputusan DPRD Bali No. 07/2005 dan Surat Gubernur Bali dengan nomor 660.1/1497/bid.I/Bapeldada, yang intinya menolak proyek Geothermal Bedugul.
”Jangan bikin suasana panas dan memancing-mancing polemik lagi dengan melemparkan wacana secara kurang terukur sehingga terkesan kurang diperhitungkan,” ujar Sudirta.
Selanjutnya, soal lokasi bandara baru di Buleleng, senator yang bersama beberapa anggota Komite I DPD RI telah menerima aspirasi dan kajian sementara dari Tim  Pemerhati Bandara Baru Provinsi Bali. Tim yang diperkuat beberapa gurubesar, akademisi, aktivis LSM dan ahli hukum itu merekomendasikan, lokasi sementara yang layak adalah di perbatasan Buleleng dengan Karangasem, dengan pertimbangan bisa memberikan manfaat dan dampak ke beberapa kabupaten, seperti Badung utara, Bangli utara, Klungkung utara, Gianyar utara, juga Karangasem. Faktor-faktor lainnya tentu harus disurvei dan dikaji secara profesional. Namun, aspirasi Tim Pemerhati Bandara Baru itu sepertinya kurang direspon. Tiba-tiba ada berita bahwa lokasi diputuskan di Sumberkima, Buleleng barat.
 ”Saya sudah ketemu dengan  Menteri Perhubungan beserta staf-stafnya dan mendapat informasi, bahwa di Sumberkima ada angin samping yang sangat membahayakan pesawat. Kalau betul Pemerintah Provinsi dan Kabupaten memutuskan di Sumberkima, apakah mungkin Dephub menyetujui, mengingat adanya bahaya angin samping itu?”kata Sudirta berkali-kali.
Soal reklamasi Teluk Benoa, yang kini jadi polemik menghebohkan, dimana terjadi saling tuding serta tantang menantang serta sikap yang sama-sama defensif, Sudirta berpendapat bahwa masalah yang telah menjadi bola panas ini dibuka di forum resmi, misalnya dalam rapat DPRD Bali yang bersifat terbuka dan transparan, libatkan semua pemangku kepentingan maupun masyarakat, agar dapat diketahui apakah betul ada kelemahan baik di SK Gubernur Bali tentang reklamasi Benoa, Rekomendasi Ketua DPRD Bali tentang tindak lanjut hasil FS LPPM UNUD, maupun tentang hasil sementara FS LPPM tersebut.
”Bila forumnya terbuka, data-data dan faktanya dibuka secara gamblang, pastilah akan ketahuan, apa betul ada pelanggaran atau tidak, lalu apa rekomendasinya. Kalau yang ada adalah tantang menantang, yang satu menuntut Gubernur mencabut SK, sebaliknya pembuat SK katakan silakan gugat di PTUN, masyarakat pasti dibuat lelah. Memang, kalau dialog dan polemik tidak ada solusinya, salah satu cara mencari solusinya memanglah proses hukum. Tapi, adakah kemauan mencarikan solusi diluar jalur hukum, yang baik untuk masyarakat dan baik untuk Bali. Saya yakin ada,” kata Sudirta.
Karenanya, Sudirta minta semua pejabat tak hanya jadikan partisipasi masyarakat sebagai hiasan bibir, tapi rekomendasi dan keputusan diambil tanpa melibatkan masyarakat.