Serasehan PKB 2014

Denpasar (Metrobali.com)-

Sejumlah pakar di bidang pertanian, pemerihati sosial budaya, budayawan, akademisi, dan tokoh masyarakat terutama kelian subak, termasuk para jurnalis terlihat cukup serius mengikuti kegiatan serasehan dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-36 di gedung Ksirarnawa, UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, Kamis (3/7).

Serasehan ini mengangkat tema Transformasi Kertamasa dan Efek Sistemik dalam Pertanian di Bali. Tampil sebagai narasumber di antaranya Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum yang membahas tentang dasar sastra dan filsafat kretamasa dan masa kreta dalam pertanian Bali, dan Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia,S.U, yang mengangkat permasalahan menyangkut keprihatinan masyarakat akan menghilangnyatradisi kertamasa dan dampak sistemik terhadap subak, serta I Nyoman Sutama,B.Sc. yang mengulas tentang keberadaan subak Jatiluwih setelah dua tahun ditetapkan sebagai warisan budaya dunia (WBD) periode 2012-2014, dan Prof. Dr. I Putu Gelgel, S.H., M.H. mengungkap berbagai hal terkait sinergisitas Undang-undang Pokok Agraria dan kearifan lokal untuk penguatan subak di Bali.

Sementara itu, sebagai pembicara kunci adalah Wakil Menteri Kebudayaan, Ir. Wiendu Nuryanti, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof, Dr. I Wayan Rai, S, selaku Staf Ahli Kementerian Kebudayaan Bidang Kerja Sama Internasional, yang berbicara tentang arah kebijakan pembangunan nasional dan kebudayaan. Serasehan ini dipandu oleh moderator di antaranya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt, dan Prof. Dr. I Wayan Dibia, MA.

Prof. Wayan Rai S, mengatakan bahwa untuk meningkatkan pembangunan nasional dan kebudayaan harus memperhatikan lima pilar kehidupan bermasyarakat, seperti penguatan jati diri dan karakter bangsa, pelestarian  karya dan warisan budaya, penguatan diplomasi budaya, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia terkait kebudayaan, dan pengembangan sarana dan prasarana kebudayaan.

Menurutnya, arah kebijakan yang menjadi fokus utama pembangunan nasional adalah meningkatkan religiusitas dan toleransi, rasa cinta tanah air, kebanggaan nasional, persatuan dan gotong-royong, menumbuhkan sikap cinta damai dan anti kekerasan, kedisiplinan, ketertiban, ketaatan terhadap hukum, daya juang, dan pikiran positif.

Sementara itu, arah kebijakan dalam kebudayaan adalah meningkatkan kesadaran, pengakuan, promosi, dan apresiasi penting karya/inovasi budaya sebagai properti kebudayaan,  meningkatkan sinergi antara teknologi dan karya/inovasi budaya, serta meningkatkan koordinasi antar pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat terkait dengan karya/inovasi budaya, dan meningkatkan sinergi antara industri perdagangan dan karya/inovasi budaya terkait pada pengakuan. “Jadi fokus pelestarian dan pengembangan kebudayan dititikberatkan kepada tiga hal, yakni pembangunan karakter melalui kebudayaan, pelestarian warisan budaya, dan penguatan diplomasi budaya,” jelas mantan Rektor ISI Denpasar ini.

Prof. Dr. I Wayan Windia, mengakui secara blak-blakan bahwa subak di Bali sudah dalam kondisi sangat memprihatinkan, meski sudah mendapat pengakuan dunia tapi kehidupan masyarakat terutama para petani tidak kunjung membaik, bahkan semakin jauh dari sejahtera. Karena faktor mahalnya sarana dan prasarana produksi sekaligus mahalnya nilai pajak tanah serta semakin mengikisnya lahan pertanian. ‘Jika tak ada kemauan dan niat tulus serta keberanian bertindak untuk membela petani, subak di Bali secara cepat mulai pingsan perlahan dan akhirnya mati alias hilang,” sentilnya dalam nada kecewa terhadap perilaku elite politik penguasa pemangku kebijakan yang tidak pernah konkrit memperhatikan kehidupan kaum petani.

Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum, mengatakan bahwa rendahnya kesadaran masyarakat akan manfaat subak karena desakan kaum kapitalisme dalam hal ini pemilik modal (investor) yang acapkali kongkalikong dengan para elite penguasa pemangku kebijakan di pemerintahan untuk mencaplok lahan pertanian secara kebablasan. “Ini karena sikap budaya masyarakat semakin luntur, akibatnya subak pun tak hanya pingsan tapi juga dapat dipastikan bakal mati,” katanya.

Makanya, lahan pertanian ke depan harus dapat dibebaskan dari pembayaran pajak, sehingga tidak ada kesan subak mendunia, para petani justu semakin menjerit. Selain itu, juga perlu adanya pemberdayaan generasi muda agar tertarik dan mau menjadi petani. Pemerintah harus tampil terdepan dalam memfasilitasi para calon petani dari generasi muda ini sebagai aset bangsa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. “Ininya harus ada komitmen kuat, niat tulus dan keberanian dari pemangku kebijakan untuk meningkatkan taraf hidup kaum petani di masa datang,” tegasnya.

 Menyimak pemaparan pendapat para narasumber dan diskusi bersama para peserta kemudian disarikan oleh tim perumus serasehan yang terdiri atas Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.LittDrs. I Nyoman Sukiada, M.Hum, dan Drs. I Wayan Tagel Eddy, M.Hum, serta Dra. S. Swarsi, M.Si. hasil rumusan ini nantinya akan disampaikan kepada gubernur Bali, sebagai pemangku kebijakan tertinggi di pemerintahan.

Adapun sejumlah butir rumusan itu di antaranya mengungkapkan bahwa konsep kertamasa (pola tanam mengikuti musim) dan tulak sumur(pola tanam melawan musim) adalah kearifan lokal dalam dunia pertanian Bali yang memiliki nilai-nilai luhur dalam menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam (palemahan), keharmonisan sosial (pawongan), dan memuliakan keagungan karunia Tuhan (parhyangan) perlu diaktualisasikan dalam pertanian sehingga subak subak kita mampu menghadapi tantangan dan peluang dalam melestarikan kebudayaan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Kemudian, implementasi konsepsi kertamasa dan tulak sumur dalam subak-subak utama di Bali telah terbukti menjaga keseimbangan alam dan keindahan lanskap dan mendapat pengakuan dunia lewat status lanskap Bali sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO. Namun, mengingat kuatnya tantangan dan ancaman eksternal yang mengikis lahan pertanian dan menyurutkan minat generasi muda dalam menekuni sektor pertanian, maka keberadaan subak perlu diperkuat menjadi lembaga yang tidak saja bersifat sosio dan kultural tetapi juga menjadi lembaga yang memiliki kepekaan dan kekuatan ekonomi serta adaptif terhadap teknologi-inovasi.

Sebagai langkah konkritnya, pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota agar membuat kebijakan dan regulasi yang memihak subak, petani, dan pertanian. Kebijakan dan atau regulasi ini dapat dilaksanakan dengan memberikan subsidi kepada petani, meringankan atau membebaskan lahan pertanian dari pajak, dan memberikan pendampingan keahlian kepada para petani agar mampu menghadapi berbagai tantangan. Untuk regulasi agar dibuat ketentuan-ketentuan yang dapat mencegah alih fungsi lahan atau membuka lahan pertanian baru atau menciptakan subak abadi.

Diharapkan, rencana-rencana aksi (action plan) yang mendukung subak diterima sebagai WBD seperti perlindungan subak dan regulasi-regulasi yang meringankan petani harus diimplementasikan secepat mungkin. Kelestarian subak dan pertanian ini tidak saja untuk kesejahteraan masyarakat tetapi juga mendukung pembangunan Bali sebagai destinasi pariwisata dan keharuman nama Bali dalam peradaban global. WB-MB