Buleleng,  (Metrobali.com)

Telah terjadi sekulerisasi di Besakih, pasca proyek Gubernur Bali Wayan Koster, proyek yang dimulai tahun 2021. Sekulerasasi dalam pengertian kepentingan bias sekala dari proyek besar dan “megah”, dalam hitung-hitungan kepentingan ekonomi turistik, mengalahkan spiritualisme Besakih. Sistem keyakinan Tuhan dengan menggunakan Giri Toh Langkir Mraga Lingga Widhi, spiritualitas “mengaliri” sistem sosial kemasyarakatan Bali yang menggunakan Giri Toh Langkir sebagai “tetuek kayunnya”, kiblat dalam bahasa sekarang.

Besakih memberikan inspirasi kehidupan yang amat sangat kaya, pada hampir seluruh dimensi kehidupan manusia-manusia Bali, semenjak pemendeman Panca Datu, lebih dari 1.000 tahun lalu oleh Rsi Markandya, di “titik” ambal-ambal, Pura Basukhian sekarang.
Sebut saja inspirasi kepemimpinan berbasis spiritualitas, dalam literatur kepemimpinan disebut sebagai Leadership Based Spirituality.

Berangkat dari sistem keyakinan Tuhan “Giri Toh Langkir mraga lingga Widhi” , diyakini ada aliran spirit dari Gunung di sisi Timur Pulau Bali, yang “berlabuh” di Pura Ulun Kulkul, yang kemudian “diperluas” menjadi di Penatara Agung, “mengalir” ke Pura Goa Raja, pemujaan Tuhan Ciwa, di tempat para raja-raja melakukan laku tapa brata. Spirit ini melalui goa tembus ke Pura Goa Lawah di wilayah Tenggara Bali, pemujaan Tuhan Maheswara dengan pengurip 8. Dalam sistem keyakinan Tuhan, Bali disimbolikkan sebagai Padma Bhuwana, lingga berbentuk Bunga Padma berkelopak 8, dengan kekuatan Tuhan Ciwa di 8 penjuru angin. “Mepurwa dhaksina”, mulai dari Timur Lempuyang pemujaan Tuhan Iswara dengan pengurip 5, Goa Lawah, pemujaan Tuhan Maheswara dengan pengurip 8, Luur Uluwatu di Nreti (Barat Daya Bali) pemujaan Tuhan Rudra dengan pengurip 3, dan seterusnya.

Spirit yang memberikan inspirasi dan energi bagi raja-raja Bali yang mempunyai relasi kuat dengan Besakih.
Cri Kesari Warmadewa, raja yang secara formal pengikut agama Buda (Agama Budha yang berkembang di kerajaan Criwijaya, bukan konsepsi Ciwa – Budha yang berkembang belakangan di Majapahit), juga meyakini sistem keyakinan Tuhan “Giri Toh Langkir”, merintis pembangunan Besakih, dan kepemimpinannya yang menonjol membangun sistem etik kehidupan masyarakat, membangun masyarakat berbasis kejujuran.
Cri Aji Jayapangus, pusat pemerintahannya di Utara, Panarajon, Desa Sukawana, Kintamani Utara, menyelenggarakan upakara Eka Dasa Rudra yang pertama di Besakih. Ciri menonjol dari kepemimpinannya: komitmen teguh untuk kehidupan ekonomi rakyat, menjaga kelestarian hutan dalam perspektif agama alam yang telah mentradisi di era kepemimpinannya.

Ida Dalem Waturenggong, nama sang raja lebur dengan kiprah keyakinan keagamaannya: “seorang raja yang selalu pergi ke Batur dimana ada batu bergerak”.
Raja yang konon mampu mencium aroma “harumnya” tanah Bali dan kemudian istilahnya sekarang mewakafkan hidupnya untuk Bali, menjadi “ruruban” gumi Bali. Kepempinan inspiratif yang melampaui zamannya

Jro Gde Sudibya, pengasuh Dharma Sala “Bali Werdhi Budaya”, Pasraman Rsi Markandya, Br Pasek, Ds. Tajun, Den Bukit Bali Utara.