Denpasar, (Metrobali.com)

Panitia menyebutnya patung, berarti ornamen, bebungahan yang ada di bencingah Agung Pura Besakih untuk tujuan turistik. Padahal di palebahan Bencingah Agung tersebut adalah tempat yang sangat disakralkan umat Hindu.

Menurut Ketua Forum Penyadaran Dharma Jro Gde Sudibya, Senin, 6 Maret 2023, semestinya di Bencingah Agung tidak ada lagi penambahan bangunan, apalagi untuk tujuan turistik.

“Kita mengetahui Tawur Agung setiap Tilem Kesanga menuju HR.Nyepi, Betara Turun Kabeh (bisa 5 tahun sekali), Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali, Eka Dasa Rudra setiap 100 tahun sekali, dipusatkan di Bencingah Agung yang bermakna Nyomya (transformasi Butha menjadi Dewa), yang diyakini memberikan vibrasi ketenangan dan kedamaian ring sawewengkon jagat Bali,” katanya.

Dikatakan, sistem keyakinan yang memberikan rasa ketenangan, kedamaian, kecerdasan viveka (kemampuan pembeda) Rwa Bhineda, berangkat dari sumber keyakinan: “Giri Toh Langkir mraga Lingga Widhi”.

Lebih lanjut dikatakan, sekulerisasi Besakih dengan penonjolan bentuk bentuk luar, ornamen, “bebungahan” , kenyamanan pandang turistik, menggeser vibrasi spiritualitas yang merupakan alasan keberadaan Besakih, bisa memberikan indikasi turunnya kualitas sebagian manusia ke tingkat bhuta, setingkat Kera (Simpanse), kecerdasannya menurun dan kemampuan dalam merespon ruang dan waktu.

“Ironinya kualitas manusia dan kemanusiaannya menurun, tetapi wacana dan bahkan perbuatannya seakan-akan setingkat Dewa. Realitas sosial inilah yang disebut para sosiolog sebagai anomie, kekacauan peran secara sosial,” kata Jro Gde Sudibya. (SUT-MB)