diskusi publik atas Rancangan Undang Undang Pertanahan

Denpasar (Metrobali.com)-

Proses diskusi publik atas Rancangan Undang Undang Pertanahan (RUUP),  dilakukan dalam rangka mencari masukan, yang saat ini sedang di godok di Komisi II DPR RI. Diskusi Publik RUUP diadakan di Penggak Men Mersi, Kesiman, atas inisiatif Konsorsium Pembaharuan Argraria (KPA) Bali, Senin 17/2/2014.

Hadir sebagai pembicaraa dalam diskusi ini Nyoman Dhamantra Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan -fraksi pengusul Panja RUU- Iwan Nurdin, Sekjen KPA,  dan Ngurah Karyadi, angota DN KPA, dan difasilitasi Ni Made Indrawati. Diskusi Publik ini ingin menghimpunan masukan dari sejumlah kelompok warga (petani) kasus di Bali seperti Serangan, Sumberklampok, Sendang Pasir, Selasih, Gilimanuk, serta element masyarakat lain, LSM, kalangan akademisi, serta sejumlah caleg yang punya kepedulian pada masalah pertanahan di Bali.

Mengawali diskusi, Nyoman Damantra mengungkap, RUUP sebagai  penjabaran dari Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), anak kandung dari TAP MPR No: IX, sehingga sudah tentu berbeda dengan UU Sektoral lainya, yang sangat liberal dan kapiltalistis. “Saya harapkaan RUU tidak bertentangan dengan konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria, yang mengakui kedaulatan rakyat dan hak-hak adat dalam penguasaan serta pengelolaan bumi, air dan kekaayaan alam lainya. Tanpa kedaulatan rakyat, maka tidak ada kedaulatan Negara. RUU ini sekaligus sebagai wujud Respon DPR RI terhadap amanat TAP MPR No: IX 2001,” kata Nyoman Dhamantra.

Sebagai anggota DPR IR, Dhamantra memahami bahwa pembahasan RUUP ini mendesak, mengingat secara politis RUU ini nantinya menjadi jembatan antara UU Pokok Argraria dan TAP MPR No: IX, tentang Reforma Agraria dan berbagai UU sektoral lainnya. “Dalam kesempatan ini, saya mohon segenap hadirin untuk mengelaborasi sejumlah isue krusial, seperti hak menguasai negara vs masyarakat adat, serta pembatasan penguasaan dan alih fungsi lahan yang kian marak di Bali,” lanjut Nyoman Dhamantra.

Fungsi Negara sebagai organisasi rakyat paling tertinggi, dimana Negara memiliki hak dan wewenang untuk sediakan, mengatur dan melidungi hak atas tanah dan sumberdaya alam lain bagi kesejahteraan segenap  rakyat, seperti diatur dalam pasal 33 UUD 1945. “Sampai saat ini draft yang ada belum pasti, dan tidak eksplisit mengatur semua itu ditetapkan dalam RUUP ini,” kata Iwan Nurdin.

Disamping itu, RUUP ini nantinya tidak berlalu surut. “Mengenai Hak Guna Usaha (HGU) misalnya, yang telah habis masanya itu, nanti tidak bisa diberlakukan surut lagi, dan dalam waktu 5 tahun Pemerintah harus bisa menyelesaikan sengketa tanah di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun kedepan,” ungkapnya Iwan lebih lanjut.

Sementara, Ngurah Karyadi berharap RUUP inil nantinya dapat menuntaskan permasalahan dalam sektor Argaria, termasuk di Bali. “Kami anggap ini UU paling dekat dengan sektor tersebut. Harus selesai RUUP ini dalam periode kami saat ini. Semangat anggota Panja lebih progresif, dan kami yakini RUUP ini selesai diakhir masa tugas DPR RI 2009-2014, mengingat program MP3I dimana Bali-Nusra sebagai koridor pariwisata sudah di depan mata, seperti kini manifes dalam kasus reklamasi Benoa, KSPN Besakih, dan seterusnya,” katanya ringkas.

Segenap hadirin berharap, RUUP ini  harus segera di tuntaskan, sehingga dapat digunakan untuk melindungi masyarakat lemah terkait kasus sengketa lahan di seluruh daerah, khususnya di Bali. Disamping itu, ada pengakuan yang tegas atas Hak Adat, hak Petani gurem, dan hak wanita atas tanah  diatur dalam RUUP ini. Untuk itu perlu kemauan politik pemimpin, baik di pusat ataupun daerah, termasuk para calon pemimpin yang akan berlaga dalam Pemilu 2014.

“Hak penguasaan bumi, air dan sumber alam lain oleh Negara jangan sampai diubah kata atau bahasanya dengan hak pengelolaan, mengingat Hak jenis ini relatif sama dengan hak pengelolaan di zaman Kolonial Belanda. Bisa  menghilangkan semangat kedaulatan rakyat/negara. Untuk itu, kita secara pribadi atau bersama mengawal pembahasan RUU ini,” ujar Nyoman Dhamantra.

Iwan Nurdin menenggarai, upaya tersebut sering akan menghasilkan kerancuaan hukum, dan menimbulkan sengketa/konflik. Termasuk atas Hak Pengelolaan langsung di yang didelegasikan dalam hak adat, harus diatur tuntas.

“Adanya konflik di sektor argraria karena adanya perbedaan penafsiran dan pembuktian hukum, yang mengakibatkan konflik berkelanjutan. Penyelesain konflik sejati dilakukan melalui Reforma Agraria, mengingat penyelesaian hukum itu sering hanya didasarkan pada bukti tertulis (otentik) yang mengacu pada KUHP,” kata Iwan Nurdin, menambahkan.

Acara dilanjutkan dengan Musyawarah Wilayah (Muswil), yang menetapkan Ni Made Indrawati sebagai Koordinator dengan sejumlah pengurus baru KPA Bali. Acara diakhiri dengan perumusan program, seperti penyusunan data kasus tanah yang manifes dan laten di Bali, penguatan KPA dan jaringan organisasi rakyat, serta pemberdayaan ekonimi rakyat. RED-MB