PENYERAPAN aspirasi rakyat dalam format Reses, sesungguhnya merupakan kewajiban dan tanggung jawab wakil rakyat,  yang dilakukan secara langsung dengan temu rakyat (konstituen), maupun tidak langsung  di media massa (Rumah Aspirasi/Rakyat) . Dilakukan dalam melaksanakan fungsi dan peran  wakil rakyat, yakni: Pertama, fungsi penyusunan, serta harmonisasi UU dan peraturan  (legislasi). Dalam artian bagaimana sebuah UU, atau peraturan lain disusun dan dilaksanakan. Kedua, fungsi anggaran (budgeting), yakni bagaimana anggaran dialokasikan dalam mencapai kesejahteraan rakyat. Ketiga, fungsi pengawasan (monitoring) terhadap kinerja eksekutif  (Presiden, Gubernur  dan Bupati).

Untuk masa reses kali ini, sejak tanggal 6-8 November  2011, Nyoman Dhamantra , anggota Komisi X DPR RI,  yang didampingi Ketut Mandia, anggota komisi IV DPRD Bali, dengan melakukan serangkaian temu rakyat, mulai di Balai Kelompok Nelayan “Karya Segara”, Serangan ( Denpasar);  Balai Banjar Kerta Pascima, Nusa Dua (Badung), dan  Balai Desa Gunaksa, Dawan (Kelungkung). Dalam kesempatan tersebut Nyoman Dhamantra menekankan bahwa, segala UU dan kebijakan, termasuk kebijakan dalam investasi , tujuan akhirnya adalah kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.

“Setiap peraturan, atau kebijakan apapun yang dibuat pemerintah,  harus mensejahterakan rakyat, dan bukan sebaliknya,  memarginalisasi dan meminggirkan rakyat. Sebagai ilustrasi, sangat kontras kita saksikan misalnya di Pulau Serangan ini, dimana akibat kebijakan investasi  di masa Orde Baru, rakyat kehilangan mata pencaharian, dan bahkan lingkungan menjadi rusak”, katanya mengingatkan.

Pandangan ini diamini segenap warga Serangan, yang beberapa waktu lalu kelompok nelayannya, Karya Segara, mendapat hadiah selaku pelestari lingkungan (kalpataru) dari Presiden RI.  Dalam pandangan Wayan Patut, reklamasi pulau serangan yang di mulai sejak awal tahun 1990an menyisakan serangkaian masalah, mulai dari berbagai intimidasi dan kekerasan yang di hadapi warga pada saat pembebasan lahan, kehilangan lapangan pekerjaan selaku nelayan, yang sudah menyebabkan tingginya angka putus sekolah, serta diikuti dengan kerusakan terumbu karang dan lingkungan lainnya.

“Karena kehilangan mata pencaharian selaku nelayan, akhirnya warga terpaksa mencuri karang demi mempertahankan hidup. Namun, seiring waktu dan dukungan berbagai pihak yang peduli, tumbuh kesadaran warga untuk tergerak memperbaiki lingkungan yang rusak, yang kemudian mendapat hadiah Kalpataru. Sayang sekali, kenapa kurang mendapat apresiasi dan dukungan dari pengambil keputusan di daerah?” , katanya mempertanyakan.

Nyoman Dhamantra sangat kagum dengan atas apa yang di lakukan nelayan Serangan, dan melihatnya sebagai inisiatif luar biasa dan harus mendapat dukungan semua pihak. “Saya secara pribadi akan memberikan dukungan dan membantu langkah-langkah kelompok nelayan Karya Segara, untuk bisa segera di bentuk semacam Forum Pelestari Karang dan Pesisir se-Bali.  Inisiatif ini segera akan saya sampaikan kepada Menteri Kelautan dan Pesisir, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta pimpinan di Daerah. Paling tidak kepda segenap Badan Usaha Milik Negara yang beroperasi di Bali, memberikan dukungan melalui Dana Sosial dan Lingkungan (CSR). Dalam kesempatan ini saya minta Wayan Mandia selaku wakil rakyat di DPRD Bali, dan segenap Tim Dhamantra Centre membatu memfasilitasi”,  kata Dhamantra menegaskan.

Pendapat senada  mengedepan di Nusa Dua, dimana pertumbuhan investasi di kawasan Nusa Dua dan sekitar tidak serta merta diikuti dengan kesejahteraan rakyat. Made Dharma, salah seorang  totoh masyarakat Nusa Dua mengungkap bahwa, agresifitas investasi di nusa dua dan sekitar, menggusur petani (rumput laut) di Sawangan , usaha kecil  dan lembaga keuangan adat (LPD), serta tertutupnya akses pelaksanaan ritual adat dan budaya setempat.

Sementara itu dari Gunaksa, Dawan (Klungkung), menghadapi situasi yang sedikit berbeda, yakni kesulitan mendapatkan dana pembangunan dan perbaikan infrastruktur, mulai dengan proyek Dermaga Gunaksa di bekas galian C, jalan pedesaan, sampai perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, seperti disampaikan Wayan Sugati, anggota Komisi B DPRD Klungkung.

“Sebagian besar anggaran diperuntukkan untuk keperluan rutin dan belanja pegawai,  dana pembangunan dan perbaikan infrastruktur sangat kecil. Ketika Bupati berinisiatif mengusulkan pinjaman RP. 1 Triliun, melahirkan berbagai kontroversi. Bagaimana ini, tidakkah ada terobosan-terobosan yang mungkin dilakukan di pusat?“, ungkap Wayan Sugati.

Dalam membangun kemandirian  ekonomi, dapat dilakukan melalui pemberdayaan Lembaga Perkreditan Desa  dan Pasar Rakyat. “Adapun soal terobosan, ya harus dilihat nota kesepahaman (MoU) yang telah dibuat  antara Pemkab Klungkung, Pemprov Bali dan Pemerintah. Peluang pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pariwisata kedepan bisa kita integrasikan dengan Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang diketuai langsung Presiden”, kata Nyoman Dhamantra.

Begitu banyak persoalan rakyat yang mengedepan baik dalam Reses, ataupun dalam Rumah Aspirasi/ Rakyat sepertinya berakar pada: Pemimpin. Liberalisasi ekonomi sudah merambah ke wilayah politik, dalam artian mengikuti selera pasar politik. Keputusan dan kebijakan pemerintahan sangat ditentukan oleh para pemodal.

“Gejala kapitalisasi proses politik harus segera di hentikan. Bagaimana memilih pemimpin yang baik, jika pemilih menentukan pilihannya berdasarkan nilai Rp. 50/100 ribu? Jelas pemimpin yang terpilih akan mengejar setoran berikut keuntungannya. Karena itu , dalam setiap kesempatan saya selalu mengingatkan kepada segenap warga untuk menentukan pilihan berdasarkan visi dan misi, atau bahkan idiologi, bermuara pada upaya yang  mungkin dalam mensejahterakan rakyat”, kata Nyoman Dhamantra mengingatkan. (GAB-MB)