Anwar Usman semestinya Mengundurkan Diri

Oleh : Jro Gde Sudibya

Dalam perayaan hari pahlawan ke 78 tahun hari ini, jika menyimak catatan sejarah pertempuran heriok arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris dan tentara Belanda yang “membonceng” tentara Inggris, amat sangat tampak, nilai-nilai yang harus mereka perjuangkan: kemerdekaan, harga diri sebagai nation state yang baru berdiri, kerelaaan penuh untuk berkorban (totally self surounding): harta, jiwa, darah dan air. Arek-Arek Suroboyo yang bermodalkan BONEK (bondo nekat) berbekalkan kenekatan diri, warga Surabaya dan sekitar dalam beragam strata sosial, tukang becak, pedagang kaki lima, warga kota biasa, para pemuda pejuang, yang terbakar semangatnya oleh pidato heroik berapi-api, dari Bung Tomo melalui pemancar radio yang amat sangat sederhana. Sejarah mencatat, arek-arek Suroboyo dengan bekal peralatan seadanya, nyaris tidak punya ketrampilan militer, mampu mempertahan kotanya, dan dalam pertempuran heroik di Jembatan Merah, Surabaya Utara, jendral Inggris Mallaby berhasil dibunuh. Dunia internasional geger terhadap keberanian dan kenekatan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaannya.
Sejarah dunia mencatat, dari perspektif kesejarahan, bangsa Indonesia adalah bangsa besar, karena kemerdekaan adalah hasil perjuangan “at all cost” bukan hadiah dari penjajah.
Sistem nilai yang menghidupi (ngopeni, bhs.Jawa) nation state Indonesia sejak berdiri sampai hari-hari ini.
Berangkat dari pemikiran kesajarahan ini, sebagai negarawan, Anwar Usman semestinya punya jiwa besar mengundurkan diri.
Pengunduran diri berdasarkan perspektif: etika, moral dan juga hukum. Pertama, keputusan MKMK telah menyatakan beliau bersalah, diganti sebagai Ketua MK dan sejumlah sangsi lainnya.
Kedua, tetap sebagai hakim MK dengan kewenangan yang telah “dipreteli”, sehingga Anwar Usman menjadi beban bagi MK dari perspektif citra, kepercayaan (trust) publik dan keabsahan keputusan MK. Social distrust pada MK, bisa melahirkan goncangan politik yang bersumber dari ketidak-percayaan publik tsb. Ketiga, pernyataan yang dibacakan ketua MKMK dan dua anggota lainnya, bahwa pelanggaran etika dan konflik kepentingan sering terjadi di MK, dan dianggap biasa dan bahkan menjadi lazim. Ketua MK membiarkan, merupakan bukti ybs.gagal sebagai pemimpin dalam pemberi suri teladan, dan kepemimpinan dalam artian strategik operasial. Seperti merawat etika, membangun suasana kerja yang sehat, iklim organisasi yang tunduk pada aturan dan fungsi pengawasan sebagai pemimpin.

Jro Gde Sudibya, aktivis demokrasi, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004 yang mengikuti dengan cermat lahirnya pasal dalam konstitusi yang menelorkan MK.