Hari ini, 25 November 2023, raina Tumpek Wayang, momentum baik untuk berefleksi, di tengah kekumuhan politik yang sedang berlangsung, pasca keputusan MK No.90 yang kontroversial tsb., meloloskan Gibran maju sebagai cawapres. Demokrasi dalam ancaman, karena Presiden punya kekuasaan besar dalam mengontrol sumber daya negara, untuk pemenangan anaknya sendiri. Politik Dinasti, sebuah kesalahan politik (dalam perspektif demokrasi yang sehat), bisa memamerkan kebenaran thesis sejarahwan ternama Inggris Lord Ancton: “power tend to corrupt, absolute power, corrupt absolutly”. Kecendrungan salah guna kekuasaan ini, harus diingatkan, dikontrol dan bahkan dilawan, oleh kekuatan rakyat yang cinta demokrasi, tegak lurus pada konstitusi dan bersetia pada cita-cita gerakan reformasi.
Konsolidasi kekuatan rakyat untuk merawat demokrasi, memerlukan insan-insan warga negara yang berkarakter tangguh, dengan sejumlah cirinya, pertama, kembali menegakkan “benah basah” politik yang sarat dengan pragmatisme, menghalalkan semua cara, “tipu-menipu” ke peran utamanya, politik adalah kemulyaan, political virtue, wahana untuk mengabdi negeri (meminjam retorika Soekarno). Kedua, warga yang berkepribadian kuat, Stitha Prajna (menurut Bab Dua Bhagavad Githa) tentang Shamkya, pribadi dengan kecerdasan seimbang, dan ada motivasi kuat untuk mengabdi. Ketiga, mampu mengembangkan Viveka, membimbing mencerdaskan, manusia masyarakat umum (man of public meeting), berpolitik krumunan, dengan karakter “suryak siu”, untuk tidak acuh dengan keadaan, berpikiran semata-mata ekonomis praktis, hanya mau cari selamat, “milu-milu tuung” kemana arah angin kekuasaan bergerak, tanpa pernah peduli akan masa depan demokrasi. Padahal masa depan demokrasi nyaris identik dengan masa depan dirinya dan juga anak cucunya sebagai warga.

Oleh :

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).