Presiden RI  Prabowo Subianto

Tahun 2024 akan segera berakhir, sejumlah PR yang dihadapi Presiden Prabowo, pasca kemenangannya dalam Pilpres 14 Februari 2024, konsolidasi politik internal pasca kemenangan, meminimalkan pengaruh “cawe-cawe” politik Jokowi, yang akan “menyumbat” janji dan program politik Presiden Prabowo.

Melakukan negosiasi dengan partai PDI Perjuangan sebagai partai pemenang Pemilu dan pemilik suara terbesar di Parlemen. Melakukan konsolidasi dengan gerakan masyarakat sipil, untuk menjamin stabilitas pemerintahannya serta membuktikan diri untuk konsisten dalam kebijakan dengan cita-cita sosialisme, memihak rakyat, kebijakan yang “preferential fo the poor”.

Menjaga jarak dengan kepentingan oligarki, yang selama ini kepentingan mereka, dikesankan publik mendominasi pengambilan banyak keputusan negara.

Tantangan Kepemimpinan Presiden Prabowo untuk tahun 2025, pertama, mentransformasi politik balas budi yang berlebihan, menjadi komposisi kabinet yang lebih rasional, berbasis teknokrasi dan kompetensi, sehingga tercipta kabinet zaken dengan prioritas yang lebih tajam, “ambreg parama artha”, penentuan skala prioritas dari perspektif kepentingan publik, Respublica.

Kedua, sikap “ewuh pakewuh” dengan mantan Presiden Jokowi segera diakhiri, dengan target sasaran: membuat kepemimpinannya lebih otentik, tanpa “mata hari kembar, membuat pengelolaan APBN lebih rasional, “last but not least” memungkinkan Presiden Prabowo melunasi janji-janji kampanyenya.

Ketiga, menjaga jarak dengan kepentingan “vested interest” oligarki, tidak sekadar retorika politik, tetapi melalui kebijakan yang pro publik, seperti: kebijakan perpajakan yang lebih berkeadilan, revisi UU yang sangat memanjakan dan memberi karet merah bagi investor besar dalam UU Cipta Kerja tahun 2020.

Keempat, janji-janji sosialisme Presiden Prabowo dinantikan publik, dalam kebijakan yang lebih kongkrit dengan “time table” yang ketat, pembebasan kredit macet bagi kalangan UMKM, pemangkasan birokrasi dan korupsi yang menyumbat UMKM bisa bertumbuh, skema perlindungan terhadap angkatan kerja informal yang mencapai 60 persen dari total angkatan kerja.

Program ketahanan dan swasembada pangan yang realistis, tidak perlu terlalu ambisius (dengan risiko kegagalan tinggi), tetapi dengan melibatkan petani sebagai subjek utama dalam program tsb. Kelima, tampil lebih percaya diri di forum dunia, dengan komitmen kuat ajeg menjalankan politik luar negeri bebas aktif, dalam tarik menarik kepentingan dinamika ekonomi politik global yang semakin dinamis, dalam relasi global yang bercirikan multi polar.

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan