Ilustrasi : Jendral Sudirman

Oleh : Jro Gde Sudibya

Jum’at, 10 November 2023, Kita bersama sebagai bangsa merayakan hari pahlawan. Hari yang sarat dengan nilai-nilai: kebangsaan, patriotisme kecintaan pada negeri, keluhuran budi untuk totalitas mengabdi pada negeri untuk cita-cita kesejahteraan bersama dan keadilan sosial.

Nilai-nilai yang telah banyak ditinggalkan, oleh orang-orang pragmatis ektrim tidak lagi dianggap relevan, dan bahkan dikhianati, yang melahirkan fonemena umum dalam lanskskap politik: pragmatis, transaksional, politik menghalalkan semua untuk meraih kemenangan dalam lingkungan politik yang bercirikan: politik sebagai instrumen industri kekuasaan. Padahal negarawan, bapak pendiri India, yang sering disebut Soekarno sebagai guru politiknya, menyatakan Tujuh Dosa Sosial (seven sosial sins) merupakan penyakit sosial masyarakat, yang nomer satu adalah Politik tanpa Prinsip (Politic without Principles dalam bahasa Gandhiji). Politik yang hanya menonjolkan kepentingan, menghalalkan semua cara, meninggalkan prinsip dasar dalam berpolitik: kebenaran, etika moral, pengabdian tanpa pamrih.
Politik tanpa prinsip, yang merupakan pemicu dari lahirnya proses pembusukan politik (political decay), dalam konteks politik Indonesia kontemporer, oleh sebagian pengamat, mencapai puncaknya dalam drama politik yang sedang berlangsung, dalam politik nepotisme Jokowi yang sedang membangun dinasti politik di era demokrasi yang sedang bertumbuh. Politik dinasti pada dasarnya pendekatan politik kuno, di era sistem monarkhi penuh, bisa saja ,”laku” di era sekarang dalam pragmatisme politik yang dashyat, kekuasaan yang bisa saja ditunggangi ekstrim kanan (fundamentalisme agama) dan ekstrim kiri komunis yang telah bertransfomasi menjadi pragmatisme politik dengan seluruh manuvernya, militer konservatif plus dukungan dana yang melimpah.
Politik dinasti ala Jokowi, kalau menyimak drama politik yang melatarinya: “pembajakan” konstitusi melalui “penyelundupan” hukum di MK, Gibran anaknya “digolkarkan ” dalam hitungan hari (padahal yang bersangkutan masih memegang KTA Partai PDI Perjuangan) “gol”menjadi Wacapres dari koalisi gemuk KIM juga dalam hitungan hari dan bahkan jam. Diperkirakan lingkungan politik “kumuh” seperti ini akan melahirkan prilaku politik, yang berseberangan, diametral dengan nilai-nilai kepahlawan yang telah terbukti mampu merawat bangsa dan kebelanjutannnya sampai hari ini.

Jro Gde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik.