Denpasar (Metrobali.com)-

Segenap rakyat Sumberlampok meminta kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat kebijakan redistribusi tanah untuk kasus Sumberklampok dan yang lain di Bali, sebagai bentuk pengakuan hak rakyat atas bumi, air dan kekayaan alam negeri ini. Harus dapat dengan segera diwujudkan dan memiliki dampak politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang dilakukan melalui sinergi antara Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota, Universitas dan organisasi masyarakat. Demikian kesimpulan Rapat Akbar warga Sumberklampok, menyambut peringatan 67 Tahun Kemerdekaan RI, Kamis, 16/8/2012.

Berkaitan dengan kasus Desa Sumberklampok, Kab. Buleleng, Bali,  “meliputi area seluas 624 ha dan melibatkan 696 KK. Kasus tanah di Desa Sumberklampok pecah tidak kurang dari 22 tahun. Konflik ini juga menyerap perhatian masyarakat  kabupaten Buleleng, Provinsi Bali dan Nasional yang cukup besar, sehingga penyelesaiannya memiliki nilai politik, ekonomi, sosial dan budaya yang tinggi,” kata Putu Artana, selaku kepala Desa Sumberklampok.

Untuk itu,  kepada Kepala BPN membentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk memfasilitasi dan menjembatani akses kepada sumber daya yang dapat dipergunakan untuk pemberdayaan penerima manfaat redistribusi tanah objek reforma agraria (TORA). BLU tersebut bekerja setelah redistribusi tanah dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk membuka akses penerima manfaat TORA terhadap sumberdaya utama yang mereka butuhkan. “Sumberdaya utama yang dimaksud termasuk: Pertama, pembiayaan; Kedua, inovasi teknologi produksi dan kapasitas manajemen; Ketiga, akses pada pasar. Hal ini sudah tentu dikaitkan dengan upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan rakyat”, ungkap Misnawi, selaku ketua Panitia Khusus Penataan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Sumberklampok.

Adapun Tugas pokok BLU adalah menyediakan, mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan ketiga sumber-daya tersebut sehingga mudah diakses oleh penerima manfaat TORA. BLU tersebut tidak memiliki fungsi investasi sehingga tidak memerlukan dana penyertaan modal pemerintah yang besar. Fungsinya adalah (1). Memfasilitasi penerima manfaat dalam memperoleh layanan-layanan pemerintah, (2). Menjadi jembatan penghubung penerima manfaat dengan penyedia jasa dan pelaku ekonomi, (3). Mensistematisir pengalaman dan best practices dalam pemberdayaan dan (4). Promosikan “quickwin” dalam reforma agraria yang dijalankan BPN.

Kepala Badan Pertanahan Nasional membentuk Tim ad hoc yang bekerja untuk menangani dan menyelesaikan konflik agraria dalam menangani kasus Sumberklampok, dan kasus sejenis lain di Bali. “Tim ad hoc ini mencakup unsur-unsur dari Badan Pertanahan Nasional, pakar agraria dan pegiat gerakan reforma agraria. Jenis Konflik yang ditangani oleh tim ad hoc ini adalah konflik agraria yang berdimensi struktural, yakni konflik yang melibatkan komunitas dan sekelompok masyarakat dengan badan-badan hukum privat. Konflik agraria yang bersifat struktural ini umumnya terjadi karena penerapan kebijakan oleh pemerintah di masa lalu dan tidak mendapatkan penyelesaian secara menyeluruh pasca reformasi,” jelas Ngurah Komang Karyadi, selaku Humas KPA Bali.

Tim ad hoc membuat model-model penyelesaian konflik yang mewakili masing-masing jenis konflik, misalnya konflik masyarakat versus perusahaan swasta, konflik masyarakat versus perusahaan milik negara, konflik masyarakat versus angkatan bersenjata. “Selain itu juga mengambil contoh kasus konflik di lahan perkebunan, di areal kawasan hutan dan taman, di wilayah pesisir dan di wilayah di areal pertambangan. Berbagai macam model penyelesaian konflik tersebut di atas menjadi instrumen untuk melahirkan mekanisme dan proses penyelesaian konflik yang lebih matang di lingkuan Badan Pertanahan Nasional serta dapat menjadi rujukan bagi berbagai kementerian di pemerintah pusat,” kata Made Indrawati, menambahkan.

Melaksanakan Nota Kesepahaman (MoU) Badan Pertanahan Nasional dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk “Peningkatan peran Masyarakat Adat dalam Upaya Penciptaan Keadilan dan Kepastian Hukum bagi Masyarakat (Adat),  yang ditandatangani pada tanggal 18 September 2011 di Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan”, kata Nengah Nadia, Bendesa Adat Sumberklampok.

Terakhir, kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera mengusulkan pada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) kaji-ulang perundang-undangan agraria dan pengelolaaan sumber daya alam sebagai tindak lanjut Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaaan Sumber Daya Alam. NK-MB