Denpasar, (Metrobali.com)

Pada raina Purnama Jiestha hari ini, 4 Mei 2023, pantas untuk direnungi sejumlah peristiwa yang bisa jadi merupakan tanda-tanda alam (sasmita) yang patut direnungi dan kemudian direspons secara bijak.

Diberitakan di medsos, cukup banyak terjadi prilaku wisatawan yang aneh-nyleneh, melakukan prilaku tidak patut di beberapa kawasan suci, tindakan tergolong ekstrim dalam berlalu lintas, termasuk tindak pidana kejahatan. “Rangkaian” peristiwa yang tidak lazim dalam perjalanan sejarah industri pariwisata Bali dalam rentang waktu 50 tahun terakhir.

Di samping hal tsb.di atas, bisa disimak kolom surat pembaca Kompas (3/5/2023), yang ditulis oleh Soeharso, DRH, PHD, Mantan Penyidik Penyakit Hewan di Bali; Pemerhati Zoonosis, dengan judul: Pandemi Turun, Rabies Naik.

Tertulis di Kompas, “Ketika kasus aktif Covid-19 mulai menurun, kasus gigitan anjing di Bali justru meningkat. Dalam tiga bulan terakhir (Januari-Maret 2023) tercatat ada 1.236 gigitan anjing di Kota Denpasar”.

Lebih lanjut ditulis oleh Pemerhati Zoonosis ini, “Sepanjang 2022, menurut Dinas Kesehatan Bali, tercatat total 22 orang meninggal karena rabies. Di Buleleng (13), Jembrana (4), Bangli (3), Gianyar (1) dan Karangasem (1). Angka ini menunjukkan , tema World Rabies Day 2022 ” One Health, Zero Death” sudah terlampaui”.
Rangkaian peristiwa yang diambil secara acak, merupakan peristiwa luar biasa, di samping banyak peristiwa berdimensi niskala, yang memerlukan perenungan bersama dengan kejujuran hati.

Ada banyak pertanyaan yang semestinya diungkapkan ke semeton krama Bali, sebagai ungkapan saling berbagi, “meparo dharma, “ananta dana”, menyebut beberapa, pertama, “kepagehan” para pemimpin di semua lapisan untuk “manggeh ring sesana”, memegang teguh etika dan moralitas kepemimpinan, menjadi suri teladan, satya wacana. Bukan sebaliknya, maaf, “menebar dusta di antara kita”. Kedua, rangkaian upakara yang datang silih berganti, “ten rered-rered ring sawewengkon jagat Bali Dwipa”, untuk kesejahteraan semua makhluk -sarwa prani hitang karah-, jangan-jangan semakin “tumpul” sebagai instrumen purifikasi diri dan juga alam Raya dengan segenap isinya?. Pertanyaan yang semestinya menjadi bahan perenungan bagi semeton Bali yang punya swadharma untuk itu. Ketiga, bentuk luar simbol agama, adat dan budaya semakin megah dan semarak, Pura, Banjar, Bangunan Desa Pakraman, Kantor MDA, dan simbol-simbol luar lainnya: busana para pragina penari, penabuh, para pemangku, pengurus adat, sekehe pecalang, dan juga busana krama Bali pada umumnya, dan di sana-sini menurut berita di medsos dijumpai penyelenggaraan upakara mirip sebuah “pesta” lengkap dengan “kopi plus arak dan tuak boleh juga”. Timbul pertanyaan, apakah bentuk luar simbol ini, menggambarkan kualitas batin, rokhani dari krama Bali pada umumnya?.
Pertanyaan yang memerlukan jawaban dalam ketenangan pikiran, bukan debat (maaf) pokrol bambu, dan kejujuran hati.

Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999-2004, penulis buku Agama Hindu dan Budaya Bali dan pengamat Budaya.