Ilustrasi

Oleh : Jro Gde Sudibya

Gubernur Wayan Koster dalam berbagai kesempatan dengan suara lantang dan penuh percaya diri memaparkan peradaban fisik yang telah dan akan dibangun di masa kepemimpinannya. Salah satunya adalah “pembenahan” Pura Besakih.

Pertemuan yang dihadiri jajaran birokrasi, kelompok yang disebut tokoh masyarakat termasuk kalangan intelektual, cendikiawan dan budayawan. Media lokal memberitakannya secara luas, di halaman satu dengan head lines tercetak besar, yang kesannya menggambarkan “sucsess story” dari ybs. Sebagaimana diberitakan oleh media, tidak ada tanggapan dari kalangan terpelajar yang hadir, kesannya mereka bersetuju terhadap apa yang disampaikan.

Netizen, sidang pembaca metrobali.com, mari kita simak proyek “pembenahan” Pura Besakih yang menjadi kebanggaan Gubernur Koster.
Proyek ini dinamai pemugaran Pura Besakih dan merawat kesuciannya.
Proyek ini telah mengganggu bentang alam kesucian Besakih dari perspektif “anggah-ungguh ” di Besakih yang telah lama mentradisi. Menonjolkan “bebungahan ” bentuk luar, mengorbankan substansi spiritualitas yang melekat dengan sistem keyakinan Tuhan “Giri Toh Langkir mraga lingga Widhi”.

Pura Besakih sebagai Kahyangan Kagat, timbul pertanyaan yang memerlukan jawaban yang berwenang;
a.Pemugaran ini bertentangan dengan Bhisama Kesucian Pura oleh PHDI Pusat, kenapa dilanjutkan, padahal sebagai umat Hindu kita mengetahui dan paham, Bhisama dari Majelis Tertinggi Umat Hindu ini semestinya dijadikan rujukan etika dan moral, terlebih-lebih menyangkut kepentingan umum?.
b.Apakah ini proyek sebelumnya sudah dikonsultasikan dengan PHDI Pusat, yang dalam AD/ART nya, sebut saja mempunyai kewenangan dalam pengaturan Besakih untuk kepentingan dan kemaslahatan umat?.
c.Dalam konteks Desa Pakraman Besakih, apakah ide, rencana program proyek ini, sudah pernah “disangkepan” dan kemudian disetujui dengan pemaksan pengempon dari Pura Catur Lawa (Pande, Pasek, Dukuh, Penyarikan). Dan pemaksan pengempon/pengaci Pura Catur Loka Pala: di Timur Pura Gelap pemujaan Tuhan Iswara, di Selatan Pura Kiduling Kreteg pemujaan Tuhan Brahma, di Barat Pura Ulun Kulkul pemujaan Tuhan Mahadewa, di Utara Pura Batungadeg pemujaan Tuhan Wisnu, dan di Tengah Penataran Agung pemujaan Tuhan Tri Purusha: Ciwa, Sadha Ciwa dan Parama Ciwa?.

Pertanyaan yang memerlukan klarifikasi dan jawabam dari Gubernur Wayan Koster, Ketua Umum PHDI Pusat, Kllian Pemaksan Catur Lawa dan Catur Loka Pala.
Untuk menyangkut urusan sepenting dan segenting Pura Besakih, geguritan Sucita-Subudi, kapipil antuk Ida Nyoman Djelantik sakeng Griya Banjar, Seririt, Buleleng, rasanya pantas untuk disimak dan direnungi:
“Da mangutang yatna,
Undagan hideppe lingling,
Da drupon manyujuh sukla,
Apan tuhu lintang sulit,
Apang da dadi nungkalik,
Nyudya mertha, wesia tepuk,
Bisa ngukur kemampuan,
Yan tan prasida kreseng hati,
Da mamurug,
Apang de dadi pangenan”.

Pertanyaan di atas diajukan, bertepatan besok raina Anggarkasih Medangsia, 24/1/2023 Puja Wali ring Pura:Luur Andakasa pemujaan Tuhan Brahma, Goa Lawah pemujaan Tuhan Maheswara dan Pura Luur Uluwatu pemujaan Tuhan Rudra.

Tentang Penulis:

Jro Gde Sudibya, anggota MPR Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, penulis buku tentang Hindu dan Kebudayaan Bali, salah seorang pendiri dan sekretaris “Kuturan Dharma Budaya” LSM yang mensosialisasilan pemikiran Mpu Kuturan Raja Kertha.