Jro Gde Sudibya

R (20), religion 20, pertemuan tokoh-tokoh agama dari 20 negara anggota G 20 akan berlangsung 2 – 3 November 2022 di Nusa Dua Bali, “nempel” acara KTT G 20 yang akan segera berlangsung. R (20) sudah tentu menarik perhatian dunia di era politik global yang menurut thesis Prof. Huntington dari Harbard yang ditandai oleh konflik peradaban (clash of civilisation) di antara 9 agama dan atau peradaban. Di dunia, di mana banyak negara yang tercabik-cabik, bubar dan atau terancam bubar akibat konflik kekuasaan dengan menggunakan simbol purba SARA.

Dalam dunia yang di hari-hari ini, ditandai oleh perang berkepanjangan Ukraina- Rusia, ketegangan politik di Selat Taiwan dan juga di Semenanjung Korea, dengan bayang-bayang risiko perang nuklir.
Perang Ukraina – Rusia telah memicu krisis: pangan, energi dan juga “hantu” stagflasi di seluruh dunia. Dalam konteks dunia yang sedang karut marut ini, pesan-pesan: moral, kemanusiaan, perdamaian dan pentingnya dialog berkeadilan, multi kulturalisme, sudah tentu ditunggu dari pertemuan R (20).
R (20) dapat mengingatkan kita akan Konferensi Agama-Agama se Dunia di Chicago, September 1893, 129 tahun yang lalu, dengan salah seorang “bintangnya” rokhiwan muda Svami Vivekanda, yang datang mewakili dirinya sendiri, tidak menjadi bagian dari delegasi resmi India.
Vivakananda yang merupakan bagian dari gerakan Ramakrisna Mission di India, bersuara amat lantang di arena konferensi tentang pentingnya persatuan, kekuatan agama dalam merangkul kemanusiaan, keinklusifan yang merupakan ciri-ciri dasarih dari agama universal. Rangkaian ceramahnya berbulan-bulan pasca konferensi, di banyak kota di AS tentang spirit Veda/Vedanta: penyadaran diri (recognising), kebangkitan/pembangkitan diri ( awakening), kehidupan untuk tidak terikat ( vairagya), melahirkan vitalitas hidup berkelanjutan, menjadi begitu memakau warga AS tentang makna otentik kehidupan.
Bukunya bertajuk AWAKENING, begitu memakau Ir Soekarno, yang sedang mengalami stres dan kegalauan berkepanjangan dan nyaris putus asa, di penjara Suka Miskin Bandung di awal-awal tahun 1930’an. Buku ini menginspirasi Soekarno bangkit kembali, dan melahirkan pidato politik yang mencerahkan bangsanya, INDONESIA MENGGUGAT. Pidato politik yang dibacakan di tengah persidangan pengadilan Belanda, yang konon dalam pembelaan ini diikuti oleh doa-doa “tembang ” Bhagavad Githa oleh teman-temannya. Bhagavad Githa oleh Cri Auro Bindo adalah bacaan “wajib” Soekarno sejak muda. Pemikiran Soekarno tentang hukum karma, pembelaan terhadap negara bangsa, pengabdian tanpa pamrih buat negeri, ketidak terikatan kehidupan (vairagya), pentingnya “nation and character building” banyak dipengaruhi oleh Githa Aurobindo dan juga tulisan-tulisan Mahatma Gandhi.
Sekelumit kisah tentang Soekarno ini, semestinya membuat “jengah” elite penguasa di Bali ini untuk mengikuti jejak Bapak Bangsa ini, elite penguasa yang mengklaim diri sebagai anak-anak ideologis Soekarno.

Jro Gde Sudibya, Ketua Forum Penyadaran Dharma, forum diskusi intelektual Hindu di Denpasar.