BILA diperhatikan belakangan ini di jalan-jalan besar, kerap ditemui baliho-baliho besar. Baliho besar ini berisikan foto beberapa orang berbadan kekar, atau lambang-lambang organisasi masyarakat. Baliho ini marak ditemui di perempatan hingga jalan-jalan besar di Kota Denpasar hingga pelosok daerah di Bali. Terkadang ditemui juga baliho besar di perempatan jalan di lingkungan pedesaan, yang berisikan foto kelompok remaja yang berdomisili di desa tersebut. Baliho-baliho ini marak terjadi dan telah menjadi fenomena yang biasa terutama menjelang hari raya seperti Galungan dan Kuningan. Namun di luar hari raya tersebut, baliho sejenis tetap sering ditemui.

Fenomena sosial yang berkembang belakangan ini bagi sebagian masyarakat adalah fenomena yang biasa, namun ada banyak hal yang harus diperhatikan dibalik fenomena kelompok sosial yang semakin terorganisir ini.

Kelahiran kelompok-kelompok sosial ini pun memiliki sejarah kelahiran yang berbeda-beda. Terbitnya kelompok sosial dan organisasi masyarakat di Bali memiliki perbedaan dengan munculnya organisasi masyarakat berbasis agama yang marak di Indonesia. Organisasi masyarakat di Bali muncul karena dua fenomena dan latar belakang.

Latar belakang yang pertama adalah lahir akibat hubungan atau afiliasi organisasi masyarakat ini dengan partai politik atau penguasa. Dengan latar belakang ini, maka organisasi masyarakat ini memiliki keterikatan dengan kekuasaan partai atau tokoh masyarakat tertentu.

Latar belakang yang kedua adalah lahir dari kelompok atau crowd yang mengatasnamakan kekuasaan atas sebuah kawasan atau daerah.  Dengan latar belakang ini, maka organisasi masyarakat ini memiliki keterikatan dengan kawasan dan anggota kelompok tersebut.

Baik dengan latar belakang yang berbeda, namun kelompok-kelompok ini sebelumnya adalah kelompok-kelompok sosial yang secara relatif tidak teratur atau biasa disebut dengan crowd. Sosiolog Soekanto mengatakan, Crowd jelas tidak terorganisasi. Ia dapat mempunyai pimpinan, akan tetapi tidak mempunyai sistem pembagian kerja maupun sistem pelapisan sosial. Artinya, interaksi di dalamnya bersifat spontan dan tidak terduga.

Nah, kelompok sosial yang sebelumnya bersifat crowd ini di Bali, akhirnya mengorganisir diri mereka menjadi kelompok organisasi massa yang memiliki sistem.  Contohnya fenomena kelompok sosial yang terdiri dari anak-anak muda yang biasa berkumpul di sebuah warung atau di pojok-pojokan jalan akhirnya mengorganisir diri mereka dan membentuk geng mengatasnamakan daerah mereka sendiri.

Kini, yang membuat gundah adalah apa tujuan dan arah perkembangan dari organisasi masyarakat ini ke depannya. Apabila berdasarkan latar belakangnya yang berafiliasi dengan partai atau penguasa, maka organisasi masyarakat ini tidak akan berkembang sebagai organisasi yang berbasiskan agama, seperti yang marak terjadi di luar Pulau Bali. Bahkan ironisnya tidak dipungkiri lagi antara organisasi masyarakat ini memiliki hubungan yang tidak cukup harmonis, dan memiliki bahaya laten bibit konflik di antara organisasi masyarakat.

Bailho-baliho besar yang terpampang di pinggir jalan dan perempatan jalan seolah-olah ingin memperlihatkan kekuatan organisasi masyarakat ini. Fenomena ini adalah pergeseran dari nilai kearifan lokal di Bali. Di Bali sejak dahulu percaya pada nilai kearifan lokal seperti  De Ngaden Awak Bisa, atau jangan sombong dan memperlihatkan kemampuanmu ke orang banyak. Namun dengan adanya baliho ini maka seolah-olah memperlihatkan kemampuan dan kekuatan pihak tertentu ke masyarakat umum. Jadi apakah fenomena ini adalah salah satu bentuk adanya pergeseran nilai kearifan lokal di Bali?

Bahkan masyarakat kini melihat adanya perang baliho antar organisasi masyarakat di Bali. Hal ini tentunya memprihatinkan bagi kita masyarakat di Bali. Apabila kini perang baliho, maka tidaklah tidak mungkin akan terjadi perang atau bentrokan nyata antar organisasi masyarakat ini. Dan apabila itu terjadi, yang dirugikan tentu saja masyarakat di Bali itu sendiri. Apabila gejolak fenomena ini tidak ditanggapi dengan tindakan nyata, maka hanya menunggu waktu dimana kita sebagai masyarakat Bali yang merasakan dampak negatifnya.

Dalam sebuah organisasi massa atau kelompok seperti ini, memiliki kecenderungan terjadinya group think. Groupthink menurut Irvings Janis (1972) adalah istilah untuk keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan yang tidak masuk akal untuk menolak anggapan/ opini publik yang sudah nyata buktinya. Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh dalam kelompok yang irrasional tapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi keputusan kelompok. Groupthink mempengaruhi kelompok dengan melakukan aksi-aksi yang tidak masuk akal dan tidak mempedulikan pendapat-pendapat yang bertentangan diluar kelompok.

Oleh karena itu, maka organisasi masyarakat akan memiliki kecenderungan untuk bertindak tidak masuk akal dan disetujui serta dilakukan oleh seluruh anggota kelompok. Setelah itu apa yang terjadi akan cukup menakutkan, terlebih apabila tindakan yang dilakukan berbasiskan pada kekuatan otot dengan kecenderungan destruktif.

Namun ada cara untuk menghindari terjadinya group think yang destruktif.  Untuk itu dalam kelompok atau organisasi masyarakat itu sendiri harus memiliki ketua yang cukup mampu menjadi pemimpin yang bijak, dan dalam merumuskan keputusan harus dilakukan secara bertahap dan jangan terburu-buru. Jangan sampai  akhirnya penyesalan datang kemudian.

Berkumpul dan berserikat adalah hak setiap warga Negara yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar di Indonesia ini. Namun ketertiban dan keamanan masyarakat pada umumnya juga hak yang harus dilindungi oleh Negara. Sebagai sesama warga Negara maka sudah sebaiknya hidup saling menghargai dan menghormati walau berbeda pendapat maupun berbeda organisasi bukan?

Ni Made Ras Amanda Gelgel S.Sos M.Si

Pengamat sosial politik, Universitas Udayana Denpasar