Denpasar (Metrobali.com)-

 

KEREN, megah, luas, nyaman dan Indah, begitulah ditulis para buzer di media sosial dan media cetak maenstrim di Bali tentang suasana bangun luar kawasan Pura Besakih saat sekarang. Menurut penilaian sejumlah pejabat tinggi di Bali, pembanguna ini adalah sebuah maha karya yang hebat dan megah dan telah menjadi kebanggan pemerintah propinsi Bali atas keberhasilan dalam pembangunan fisik yang luar biasa.

Dan, pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan pembangunan mental spritualnya, moralitas masyarakat Bali? Apa kabar pula SMAN Bali Mandara? Apa kabar Hari Arak Bali? Apakah sudah sesuai dengan tujuannya membangkitkan perajin arak tradisional Bali dari keterpurukan menjadi sejahtera?

Terlepas dari kebijakan hari arak Bali yang nyeleneh itu, mari kembali kepada bangunan fisik luaran pura Besakih yang dapat pujian dari sejumlah pejabat eksekutif, legislatif dan sejumlah tokoh Bali.

Menurut Ketua Forum Penyadaran Dharma Jro Gde Sudibya, kawasan Pura Besakiih saat ini menjadi ornamen, venue untuk ditonton, bukan lagi Tempat Suci (dalam pengertian otentik yang melekat dalam sejarah panjang spiritualisme Besakih).

“Selamat datang” Bali era baru bali, yang menonjolkan kemasan bentuk luar (outer world) skala, dan “meminggirkan” substansi dunia dalam diri (inner world) -niskala-, relasi Bhuwana Agung – Bhuwana Ali. Kita tunggu saja respon Alam Raya Bali (bauran Panca Maha Bhuta, Pertiwi, Apah, Bayu, Teja, Akasa),” tandas
Jro Gde Sudibya, Kamis, 9 Maret 2023 di Denpasar.

Ia mengatakan suasana ini mirip pasar, sementara orang yang ke Besakih mestinya melakukan devosi pembebasan, ngeret indria, kapitalisme yg tidak disadari pelan pelan membuat manusia Bali terasing, dan ini karena kita tak mau belajar pada sejarah.

“Tidak ada lagi jiwa muratsarire bagi masyarakat Bali. Tidak lagi ada istilah nyisik bulu (instropeksi diri). Lupa kita lahir ke dunia menebus dosa dosa yg pernah kita lakukan. Namun manusia Bali lagi lagi disuguhkan gemerlap duniawi. Apakah karena pengaruh jaman, manusia lebih memamerkan materi ketimbang spirit?,” kata Jro Gde Sudibya.

Dia mengatakan, kapitalisme kekuasaan yang mengatasnamakan wong cilik harus dilawan. Ini cara cara mengelabui masyarakat agar kelihatan jadi pejuang pembangunan. Tetapi dibalik itu, ada tipu muslihat yang keji. Biarkan hukum alam tetap berjalan dan terus bekerja. Yang bersalah biarlah hukum alam semesta yang memberi ganjaran setimpal. Untuk saat ini hanya doa yang bisa diucapkan selebihnya diserahkan kepada yang Kuasa (Ida Hyang Widi Wasa). (Adi Putra)