Di Bali, Indahnya hamparan sawah, memberi pesona memanjakan mata. Berundag-undag tertata oleh “undagi bumi” yang berjiwa, Para Subak.

Sawah nampak indah bukan hanya karena hijau atau kuningnya tanaman padi. Sawah yang baru dibajak pun begitu menggoda mata,  nampak kilau bening berlimpah tirta, air.  “Kala pagi atau senja , cahaya surya temaram terpantul membentuk siluet, Mata Dewa.”

Satu lagi, “Pundukan” (pematang sawah), sesungguhnya berperan banyak membentuk pola. Pundukan melengkapi panorama laksana “garis” atau “urat nadi” dalam luasnya hamparan. “Adanya Pundukan membuat sawah menjadi berjiwa.”

Jika dicermati lebih jauh, Pundukan berfungsi sebagai penghubung atau jalan. Jalan hidup dan kehidupan Para Petani. Setiap saat petani berjalan di Pundukan, manakala mengolah sawahnya.

Pundukan pun sebagai jalan yang berbeda, seperti: Jalan Air yang menghidupi bumi, padi, dan Sarwa Prani (mahluk hidup) lainnya. Air pun mengalir nyata membentuk peta jalan kehidupan, dari petak sawah yang satu ke petak sawah lainnya, dari hulu ke teben (hilir). “Petani membaginya secara teratur, adil dan secukupnya dengan Temuku.”

“Seterusnya air berjalan membentuk pangkung, sungai, campuhan, untuk menata ruang-ruang alami  hingga ke laut”, Nyegara Gunung.

Lebih jauh, Pundukan sangat identik dengan “Jalan Air”. Makanya ada Pundukan sawah, ada juga Pundukan telabah/parit, ada juga Pundukan sebagai Jalan Subak pengubung sawah dengan Desa Pakraman”. Pundukan menyambung lintas beberapa Desa Pakraman.

Jika dicermati lagi, sesungguhnya Pundukan ibarat urat nadi kehidupan. Menyatu membentuk “organ” hidup dari hulu ke teben, begitu juga sebaliknya.

“Bisa jadi Pundukan di Bali benar-benar menyatu, merajut bumi menyulam sukma bumi pertiwi, Nusa Dewa (Pulau Dewata).”

Dan kini, ketika era pariwisata, banyak Pundukan terputus dan sengaja diputus. Pundukan tidak lagi dihormati atau diyakini sebagai spirit alam. Putusnya Pundukan membuat putusnya urat nadi kehidupan. “Karenananya, kini mulai terdengar jeritan kelaparan di Lumbung Padi”.

Mudah-mudahan seperti cerita seorang kawan nun jauh disana. Pundukan di Bali bisa dikelola sebagai “Wisata Bahasa dalam Budaya”, yaitu; Pariwisata alternatif melengkapi jenuhnya paket wisata yang itu-itu saja. Berwisata menyusuri Pundukan (Paket Wisata Pundukan) sambil bercerita, bersepeda, berkuda, menanam padi, atau mendalami spirit budaya masyarakat setempat.

“Sebuah bentuk pariwisata yang bertanggungjawab untuk mengurangi asap, mengurangi bangunan, dan juga mengurangi gangguan.”

Jika hal itu dumungkinkan, maka akan sangat sejalan dengan amanat Perda Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.

Akhir kata, mari kita selamatkan Pundukan. Karena merusak Pundukan sama saja merusak Subak, sama saja merusak jiwa-jiwa Kepariwisataan Budaya Bali.

Hal ini penting, sebelum kita terlanjur latah “Mempertaruhkan Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia (WDB).”

 

Oleh : Made Nurbawa-Tinggal di Tabanan