Denpasar (Metrobali.com)-

Sejatinya budaya seniman naik truk sangat sulit dipangkas. Ini karena seniman sangat identik dengan kegiatan ritual keagamaan, seperti upacara melasti, misalnya, yang selalu dibarengi dengan gamelan baleganjur, di mana para penabuhnya naik truk sambil megambel.

Namun, khusus seniman yang tampil untuk seni pertunjukan turistik semestinya tidak boleh naik truk. Tapi, pada kenyataannya seniman acapkali naik truk, karena alasan sangat klasik. Yakni faktor biaya akibat bayaran yang murah. Inilah ironi yang mesti mendapatkan penanganan lebih serius dan komitmen bersama dari elite politik penguasa pemangku kebijakan. Supaya budaya seniman naik truk tidak disalahartikan.

Demikian diungkap oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Dia mengakui budaya seniman naik truk untuk seni pertunjukan turistik memang harus dipangkas. Tapi, tanpa adanya aturan hukum dengan sanksi yang mengikat serta komitmen bersama untuk mengawasinya tentu akan sangat sulit. Di samping itu, langkah yang patut diperhatikan dalam memangkas seniman naik truk yakni dengan meningkatkan kesejahteraannya.

Diakuinya, para pelaku di bidang pariwisata (turistik) harus lebih memperhatikan mutu dan kualitas seniman melalui penghargaan yang layak dalam bentuk finansial. Artinya, kalangan turistik dituntut harus lebih menghargai dan memuliakan seniman dan karya seninya. “Sehingga seniman untuk seni pertunjukan turistik tidak lagi naik truk,” tegasnya. IJA-MB