Denpasar (Metrobali.com)-

 Nasib program studi kriya sebagai bagian dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sangat dilematis dan nyaris tak mampu bergeming di tengah era globalisasi, yang cukup semarak dengan beragam produk kriya dalam aneka corak kreatif dan inovatifnya. Sejak awal hingga kini jurusan ini baru mencatat mahasiswa sebanyak 50 orang mahasiswa. Dan, untuk tahun ini, program studi kriya hanya mendapat mahasiswa sebanyak 20 orang. Kenapa ?

Nah, menyikapi hal itulah Jumat (28/9) kemarin digelar seminar nasional bertajuk Pengembangan Sistem Pendidikan Kriya dalam Upaya Meningkatkan Animo Calon Mahasiswa di gedung Candra Metu, ISI Denpasar. Menghadirkan nasumber di antaranya I Made Gede Arimbawa dan Prof. Dr. Biranul Anas Zaman selaku guru besar Kriya, Institut Teknologi Bandung, yang juga praktisi kriya nasional.

Kegiatan seminar nasional ini bertujuan meningkatkan daya tarik khalayak publik terutama kalangan pelajar dijenjang pendidikan dasar maupun menengah untuk melanjutkan studinya di bidang kriya. Sehingga, program studi kriya mampu naik “tahta” dan para pegiatnya, kiryawan akademik di Bali semakin bertambah serta mampu bersaing secara global.

Ketua program studi Kriya ISI Denpasar, I Ketut Muka Pendet, mengakui memang program studi kriya sampai saat ini masih minim peminatnya. Padahal, produk kriya di Bali sangat beragam dan bahkan telah mendunia. Rupanya, tingkat rasa percaya diri para kriyawan Bali masih sangat rendah sehingga kurang mampu meningkatkan gagasan dan ide kreatifnya secara kontekstual sesuai tuntutan peradaban global.

Dalam rangka menumbuhkan semangat generasi muda untuk menekuni studi kriya, pihaknya melakukan pemutakhiran kurikulum dan menjaring masukan melalui seminar nasional. “Kita ingin program studi kriya ke dapan mampu naik kelas atau “tahta”. Artinya, mampu sejajar dengan program studi seni budaya lainnya,” harapnya.

Sementara itu, Prof. Dr. Biranul Anas Zaman mengatakan bahwa para dosen maupun mahasiswa harus mampu meningkatkan rasa percaya diri sebagai kriyawan akademik. Sedangkan, untuk pembelajaran studi kriya harus diarahkan pada orientasi pokok dari proses perancangan, pengetahuan bahan, teknik produksi, sosiologi, filsafat dan sejarah, serta gaya (fashion), kewirausahaan dan kerja profesi.

Menurutnya, para dosen harus mampu memberikan kebebasan berekspresi kepada para mahasiswanya, tapi tetap harus diwaspadai perkembangannya agar tidak kehilangan konteksnya. Sehingga mampu melahirkan kriyawan yang tidak hanya mampu meniru atau menjiplak, tapi justru mampu lebih kreatif dan inovatif serta memiliki daya saing global secara mendunia. “Tentunya, dengan ciptaan karya kriya yang punya ciri khas sebagai identitas atau jati diri,” tegasnya.

Lebih jauh, dia menyarankan supaya sosialisasi dan publikasi terhadap karya kriya yang terdapat di tengah kehidupan masyarakat lebih ditingkatkan, sehingga khalayak publik semakin paham dan tertarik dengan studi kriya. “Jika itu dapat dilakukan secara baik dan lebih serius saya yakin dalam waktu tak sampai setahun studi kriya ISI Denpasar akan mampu naik kelas atau naik “tahta” dan bersaing dengan studi yang lainnya,” tegasnya, optimistis. IJA-MB