Ilustrasi Prahara Model Kehancuran Dwarawati

Denpasar, (Metrobali.com)-

Berdasarkan KEPUTUSAN GUBERNUR BALI NOMOR 929/03-1/HK/2022, Gubernur Hari Arak Bali ditetapkan tanggal 29 Januari 2020. Pemerintah daerah Provinsi Bali mengajak seluruh Masyarakat Bali, dan Pelaku Usaha menjadikan tanggal 29 Januari sebagai hari kesadaran kolektif Masyarakat Bali terhadap keberadaan, nilai, dan harkat Arak Bali.

Arak Bali yang merupakan minuman destilasi tradisional khas Bali sebagai warisan sumber daya keragaman budaya Bali yang perlu dilindungi, dipelihara, diberdayakan, dipasarkan, dan dimanfaatkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan adat serta memberdayakan ekonomi rakyat yang berkelanjutan berbasis budaya sesuai Visi Pembangunan Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru.

Menyikapi keputusan Gubernur Bali  tersebut, pengamat sosial dan politik Jro Gde Sudibya, Minggu (25/12/2022) mengatakan, tujuan di dalam perda tersebut sangat ideal. Namun, dampak negatif yang bisa ditimbulkan akibat dari dilegalkan arak Bali itu belum terjawab. Siapa dan lembaga mana nanti yang akan bertanggung, jika itu membuat keadaan di masyarakat tambah runyam?. “Selain itu, masyarakat Bali, khususnya pengerajin arak hanya diberi angin surga. Tapi, kenyataannya produsen industri arak rumahan masih hidup morat marit,’ katanya.

‘Tyang jadi ingat cerita mahaberata. Setelah perang beratayudha, baladewa, kresna, dan setiaki pulang ke kerajaannya. Lalu setiaki dan rakyatnya hidup hura2 dan mabuk-mabukan. Dwarawati akhirnya hancur dan tenggelam.

Mungkin, kata Sudibya semasa kejayaan pariwisata, terlalu banyak orang Bali mengambil dari Bali, tetapi kurang memberi kepada Alam Bali. Dalam masa pandemi, apa yang diambil sudah diambil kembali,hukum sebab dan akibat. Rasanya belum cukup  cobaan saat pandemi terjadi yang hampir melanda di seluruh dunia, sehingga .terjadi musibah yang datang silih berganti melalui pemimpin yang tidak kompeten dan moralnya rubuh.

Semestinya para suci, menebus dosa-dosa pengambilan terhadap Alam  Bali, melalui kepagehan yasa kerthi termasuk siap hidup menderita, sikap puritan dan ugahari, tetapi tampaknya kelompok ini tidak melakukannya, malah ikut hanyut dalam glamorisasi kehidupan serba benda.

“Pesta” kemewahan telah usai, krama Bali mengalami derita berkepanjangan, tetapi masa “pralina” belum akan tiba.Sekarang saatnya manusia Bali yang Jagra (tetap sadar) untuk menggunakan vivekanya, sehingga tidak tenggelam seperti yang dialami oleh kerajaan Dwarawati, kerajaan Prabu Krisha, pasca perang Barata Yuda usai,” kata Jro Sudibya.

Ia mengatakan, sekaranglah karakter manusia-manusia Bali diuji, apakah satya wacana untuk “nindihin” gumi dan “nindihin”kepatutan. Tidak mengalami nasib seperti Dwarawati, yang negerinya hancur lebur, dihancurkan oleh rangkaian besar “barisan” para pemabuk?

Dalam kondisi pemimpin yang haus kekuasaan, dan nyapa kadi aku ini, diperlukan orang orang yang waras harus mengawal Bali ke depan. Jika tidak, bali akan tambah hancur. Saat ini eforia membangun gedung sedang bergema. Lebih ke pembangunan fisik, bukan pembangunan mental dan pendidikan generasi muda. Jalan kesejahteraan masyarakat tidak masuk dalam visi misi gubernur, tapi yang masuk hanya jalan tol Mengwi-Gilimanuk yang akan membuat monumen yangmangkrak.

Di tengah “kacau balaunya” Bali dewasa ini, pantas disimak geguritan Parama Tatwa Suksma “kocap kapipil antuk” Ida Pedanda Made Kemenuh, sebagai “titi pengancang”  rujukan berpikir:

” Di maya pada tuah saratang, Ngewangun tingkah sane becik, Da tungkas ring kepatutan, Dasar Moksha sane luwih, Nebus dosa sehari-hari, Mangda sadya rempung nerus, Ngungsi Swarga ne utama, Sedia bekel sakeng mangkin, Benjang pungkur, Sukha Wibawane mapag. (SUT)

Editor : Hidayatulah