ADA yang cukup menggelitik pandangan gubernur Bali, Made Mangku
Pastika menjelang pemberian penghargaan kepada para seniman lingsir
atas pengabdiannya terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan
bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas daerah Bali dalam Pesta
Kesenian Bali (PKB) ke-34 di gedung Ksirarnawa, Art Centre Bali,
Denpasar, Senin (18/6) lalu. Pasalnya, gubernur Bali merasa terenyuh
dengan sentilan kritis yang menyoroti fenomena pecalang desa pekraman
dalam goresan seni kartun yang disajikan di sudut paling kiri bawah
pada stan pameran Bog-Bog Magazine di lantai dasar dekat tangga menuju
lantai dua gedung Ksirarnawa, Art Centre Bali, Denpasar.
Bahkan, gubernur sempat berdiskusi dengan bupati Gianyar, Tjokorda Oka
Artha Ardhana Sukawati yang akrab disapa Cok Ace terkait pemaknaan
dari konstruksi fenomena pecalang desa pekraman dibalik goresan seni
kartun tersebut. Gubernur secara tegas menyentil pecalang sekarang
bukanlah pecalang sesungguhnya, melainkan premanisme berbusana
pecalang desa pekraman. Makanya, kini  sepertinya sangat perlu
dilakukan kajian secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan
para pakar di bidangnya. Guna mencarikan solusi alternatif, sehingga
pecalang tidak menjelma sebagai premanisme desa pekraman. Begitu pula
kebedaraan pecalang dalam konstruksi PKB yang hingga kini masih
terkesan kontraproduktif.
Menariknya, goresan seni kartun bervisual pecalang yang merupakan
garapan kreatif inovatif para kartunis Bali asuhan Jango Paramartha
tersebut bahkan langsung diminta gubernur sebagai hadiah spesial untuk
lembaga atau instansi terkait dalam desa pekraman yang berada di Dinas
Kebudayaan (Disbud) Bali. Nah, apa konteksnya ? Lantas, selanjutnya
seperti apa sejatinya konstruksi makna dari fenomena pecalang desa
pekraman dalam era globalisasi dan apa hubungannya dengan goresan seni
kartun, serta kegelisahan elite penguasa pemangku kebijakan atas
kepentingan publik. Untuk itulah, perlu adanya komitmen bersama dari
instansi terkait untuk menelisiknya sesuai konteks tema paras paros
dari PKB tahun ini yang dimaknai sebagai dinamika dalam kebersamaan.
Dengan begitu budaya citra dalam konstruksi PKB baik lokal, nasional
maupun internasional ke depan menjadi lebih baik dari tahun ini–yang
terkesan masih dicap sebagai pesta dagang dengan budaya kesemrawutan
serta kemacetan karena belum cukup berani melakukan perubahan melalui
kebijakan ekstrem terhadap beragam persoalan klasik yang telah
bertahun-tahun mencederai keagungan tata nilai adiluhung kebudayaan
bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali yang dijiwai ajaran
Hindu dengan kekuatan ruh dan taksu bernilai spiritual religius.
Kenapa ? Ini karena kehadiran pecalang sebagai ujung tombak terdepan
dalam menjaga keagungan citra budaya dari konstruksi PKB selama ini
masih terkooptasi kepentingan (profit) belaka, sehingga kehilangan
keangkeran dari keagungan atas kewibawaan, dan kebijaksanaan serta
ketegasannya sebagai pengayom masyarakat ditingkat desa pekraman.

Dinamika Pecalang

Padahal, jika menelisik keberadaannya pecalang sesungguhnya telah
diatur dalam Peraturan Daerah No.3 tahun 2001 tentang Desa Pekraman,
yang menyebutkan bahwa pecelang atau pecalang atau Langlang atau
disebut satgas (satuan tugas) keamanan tradisional masyarakat Bali
diberi tugas dan wewenang menjaga keamanan dan ketertiban wilayah,
baik ditingkat banjar pekraman dan atau di wilayah desa. Secara
terminologi, pecalang berasal dari kata celang yang artinya indranya
sangat tajam baik penglihatan, pendengaran, penciuman, dan ketajaman
berpikirnya. Kata pecelang akhirnya berubah menjadi kata pecalang.
Pecalang sebagai perangkat desa pekraman dipilih dan diangkat oleh
desa pekraman untuk menjaga ketertiban, keamanan serta kesucian Tri
Mandala desa pekraman. Pecalang seringkali disebut Jagabhaya yang
artinya berperan menjaga desa pekraman dari bencana alam. Pecalang
dapat dibedakan menjadi tiga, yakni pecalang desa pekraman yang
bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat desa
pekraman ketika melakukan aktivitas terkait parahyangan, pawongan dan
palemahan serta menjaga kesucian Tri Mandala desa pekraman. Kemudian,
pecalang subak yang bertugas menjaga ketertiban krama subak terkait
aktivitas irigasi, serta pecalang jagawana yang bertugas menjaga
ketertiban aktivitas masyarakat dan kontrol sosial terhadap
pelaksanaan awig-awig (regulation) desa pekraman.

Gejolak Globalisasi

Namun, seiring pergolakan kemajuan zaman dan teknologi dalam era
globalisasi saat ini keberadaan pecalang sebagai penegasan eksistensi
desa pakraman yang identik dengan dandanan busana hitam putih (poleng)
yang dilengkapi sebilah keris telah mengalami pergeseran paradigma
dalam tugas dan tanggungjawabnya. Ini akibat dari proses rekrutmen
atau pengangkatannya seringkali berada dalam cengkraman kekuasaan
hegemoni kepentingan persekusi dari entitas kelompok masyarakat
tertentu yang biasanya sangat identik dengan ekologi elite penguasa
pemangku kebijakan demi kepentingan keuntungan (profit) belaka.
Sehingga, kehadiran pecalang pun acapkali dianggap sebagai satgas
keamanan tradisional bergaya premanisme desa pekraman.
Pecalang bahkan seringkali terkooptasi sebagai “alat kuasa”
kepentingan pemilik modal (pengusaha) maupun elite politik dalam
pemilukada hingga beragam kepentingan lainnya, yang dapat melahirkan
konstruksi budaya salah kaprah dan cacat moral dalam kehidupan
bermasyarakat. Terlebih lagi, penampilan seorang pecalang kini seolah
mencerminkan pancaran wajah seram (menakutkan) berkumis dengan postur
tubuh besar (subur) yang penuh tatto aneka corak simbolik abstrak
seperti tampak dalam goresan seni kartun karya cipta para kartunis
Bali asuhan Jango Paramartha. Sebagai fakta yang polos dan sangat
jujur sebagai sebuah konstruksi dari kalangan seniman (kartunis) dalam
menyikapi fenomena sosial di tengah kehidupan masyarakat kekinian.
Maka itulah, pemikiran kritis gubernur Bali mendadak tergelitik hingga
berjanji untuk merancang kajian secara lebih spesifik terhadap
keberadaan pecalang desa pekraman ke depannya dengan melibatkan para
pakar dari berbagai instansi terkait di bidangnya. Guna menjaga
keutuhan tata nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan
budaya lokal khas Bali dari perilaku masyarakat yang tidak berbudaya
dan bermartabat, serta berkeadaban dalam berbangsa dan bernegara,
serta bermasyarakat dengan berlandaskan UUD’45 dan Pancasila yang
dilembari semangat persatuan dan kesatuan Bhinneka Tunggal Ika di
tengah kehidupan dunia yang pluralistik dan multikulturalisme.

Kajian Akademik

Dalam berbagai diskusi akademik, Wayan P. Windia, seorang ahli hukum
adat di Bali memang merasakan dampak negatif dari keberadaan pecalang
desa pekraman dalam era globalisasi saat ini. Pasalnya, kehadiran
pecalang telah menjelma menjadi premanisme yang identik dengan
kekerasan melawan hukum terhadap harmoni kehidupan masyarakat seperti
carut-marutnya beragam kasus kesepekang di Bali selama ini. Ironisnya,
pecalang dengan spirit ngayah tulus iklas tanpa pamrih dalam menjaga
eksistensi desa pekraman bahkan dimarjinalisasi kepentingan persekusi
dari entitas kelompok masyarakat tertentu yang berorientasi keuntungan
(profit) belaka. Demi kepuasan “hawa nafsu” seperti kebendaaan
(kekayaan), kekuasaan, seksualitas, ketenaran (popularitas),
kecantikan, kebugaran, keindahan dan kesenangan belaka. Sehingga,
upaya untuk penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan
keselahan, dan pencerahan spiritual dan rohani masyarakat publik
menjadi terabaikan dan tergadaikan.
Maka itulah, sudah semestinya memang pemerintah meningkatkan penguatan
aturan hukum yang mengawasi dan sekaligus mengatur perilaku dan tata
nilai serta etika sosial dari pecalang desa pekraman di Bali secara
lebih spesifik. Sehingga, tugas dan tanggungjawab serta proses
rekrutmen atau pengangkatan pecalang lebih selektif dan betul-betul
mengedepankan nilai moralitas serta etika sosial dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegera. Guna menjaga keharmonisan kehidupan
masyarakat yang sangat identik dengan kreativitas seni budaya
khususnya dalam konstruksi PKB ke depan dari cengkraman carut-marut
berbagai kasus adat seperti kesepekang, konflik antarbanjar, hingga
pemekaran desa pekraman, serta beragam kasus ketidakharmonisan
lainnya.
Kini, yang terdepan dan cukup penting dilakukan adalah giliran
masyarakat publik untuk menciptakan budaya kontrol sosial yang konkret
melalui politik media (pers) dalam mengawasi dan sekaligus mengkritisi
perilaku dan tata nilai serta etika sosial dari sepak terjang pecalang
desa pekraman di Bali. Terutamanya, keberadaan pecalang desa pekraman
dalam konstruksi PKB tahun ini. Dalam rangka menciptakan kesadaran
baru dengan paradigma berpikir kritis di tengah kehidupan masyarakat
yang harmonis dan dinamis serta demokratis. Demi budaya citra
konstruksi PKB ke depan yang lebih baik.(*)

I Nyoman Wija
*) Penulis adalah jurnalis dan fotografer sebuah media harian di Bali,
yang juga Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya dan Karyasiswa
Kajian Budaya Unud Denpasar.