PARA elite penguasa pemangku kebijakan haruslah menjunjung tinggi
moral rasional dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai
pemimpin yang mengayomi masyarakat. Dalam upaya mengatur secara tegas
dan adil kehidupan demokrasi dalam berbangsa dan bernegara, serta
bermasyarakat. Dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban
berlandaskan UUD’45, dan Pancasila, dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika
di tengah kehidupan masyarakat yang pluralistis dan multikultur. Ini
berarti pemimpin bermoral senantiasa dituntut harus mampu membangun
kesadaran baru yang taat dan patuh kepada hukum negara.
Kesadaran baru itu sangat penting dalam merepresentasikan identitas
budaya bangsa yang berbasis kearifan budaya lokal/daerah khas Bali
khususnya dalam konstruksi Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-34 tahun ini.
Sebagai sendi penguat kesatuan dan persatuan bangsa dalam keberagaman,
Bhinneka Tunggal Ika. Dalam rangka mengikis terciptanya penonjolan
sikap arogan yang mengarah pada perilaku etnosentrisme hingga
mengabaikan kerangka multikulturalisme kebangsaan dan hukum negera.
Di samping itu, sebagai upaya serius dan sungguh-sungguh dalam
melakukan pembebasan terhadap nilai kreativitas (seni) bagi para
seniman untuk meneguhkan semangat mencipta, memberi interpretasi,
mewujudkan ide, gagasan, dan pengalaman tradisinya ke dalam sebuah
bentuk seni pertunjukan yang disertai daya imajinasi dan inovasi yang
tinggi secara terbuka dan dinamis dalam dinamika cita dan citra
kehidupan berbudaya. Mengingat, konstruksi PKB selama ini telah
melahirkan penonjolan sikap arogan dan salah kaprah dalam
mengejawantahkan budaya otonomi daerah di tingkat ekologi desa
pekraman. Akibatnya, akal sehat para elite penguasa kebijakan termasuk
kalangan intelektual menjadi tersandera atau terpenjara hegemoni
kepentingan pragmatisme berbasis keuntungan (profit) belaka.
Faktanya, telah terjadi pembiaran terhadap beragam masalah klasik
secara berlarut-larut tanpa adanya komitmen dan tindakan bersama yang
lebih serius untuk menuntaskannya secara holistik dan komprehensif.
Padahal, secara teoretis dan wacana publik para elite penguasa
pemangku kebijakan acapkali menegaskan sikapnya untuk bertindak tegas
dan adil dalam membangun pondasi budaya citra yang lebih baik secara
lokal, nasional maupun internasional. Demi upaya penguatan ruh dan
taksu dari keagungan konstruksi PKB dalam kehidupan budaya bangsa
dengan nilai kearifan lokalnya yang telah terformulasikan ke dalam
konsep menyamabraya sesuai tema Paras Paros: Dinamika dalam
Kebersamaan.
Ironisnya, upaya untuk mempertahankan survivalitas dalam konstruksi
PKB harus menghadapi tantangan zaman dan khususnya tekanan dasyat dari
persekusi entitas kelompok masyarakat tertentu dalam ekologi desa
pakraman dengan konstruksi budaya otonomi daerah yang kebablasan
hingga dengan setia menyandera akal sehat publik terutama kalangan
intelektual profesional hanya demi pemuasan “hawa nafsu” ketamakan
dari hasrat kebendaan berlabel politik pragmatisme budaya hedonisme
kekinian. Sungguh sangat ironis bukan. Begitulah realitas sosial
budaya dari politik tontonan yang selalu disajikan dalam konstruksi
PKB selama ini, termasuk dalam tahun ini.
Namun, dibalik itu semua rupanya telah mulai ada tanda positivisme
tumbuhnya benih-benih kesadaran baru dalam konstruksi PKB tahun ini.
Yakni adanya komitmen tegas dari lembaga pendidikan tinggi, Institut
Seni Indonesia (ISI) Denpasar untuk melepaskan diri dari cengkraman
kepentingan hegemoni persekusi entitas kelompok masyarakat tertentu
dalam ekologi desa pekraman dengan lebih memuliakan ruang apresiasi
para seniman secara lebih bermartabat dan berkeadaban. Sehingga para
seniman yang berpartisipasi dalam konstruksi PKB tahun ini dapat
tersenyum sumringah dan bernafas lebih bebas. Untuk itu, komitmen dan
sikap tegas ini patut diapresiasi secara lebih bijaksana dan diacungi
jempol, agar dapat menjadi aturan kebijakan bersifat tetap dan mutlak
dalam mewujudkan konstruksi PKB ke depan yang lebih baik sebagai
informasi publik bernilai edukatif dan mampu mencerahkan serta
menyejahterakan.
Di sisi lain, adanya kebijakan terstruktur terkait penerapan sistem
pelayanan publik terpadu dengan menggunakan angkutan shuttle bus
gratis bagi khalayak masyarakat pencinta seni budaya juga sangat patut
diapresiasi positif dan diancungi jempol sebagai langkah konkret
pemerintah dalam menggugah kesadaran baru publik terhadap konstruksi
PKB ke depan. Ironisnya, kebijakan sistem transportasi berbasis
kepentingan publik ini masih terkesan setengah hati. Pasalnya, hingga
sekarang proses pengawasan terhadap akses lalu lintas sebagai akses
utama dari penerapan sistem transportasi itu masih tersandera sikap
agresif masyarakat dengan gaya hidup fundamentalisme fanatik dalam
ekologi desa pekraman yang nekat melabrak aturan hukum negara demi
kepentingan berorientasi kepentingan (profit) belaka dengan mengapling
ruas jalan sebagai arena parkir.
Kini konteksnya kalau beragam persoalan klasik dalam konstruksi PKB,
termasuk “lubang tikus” di sebelah barat gedung Ksirarnawa, Arts
Centre Bali, Denpasar tidak serius dituntaskan secara holistik dan
komprehensif berarti sikap tegas dan adil yang telah dilontarkan para
elite politik penguasa pemangku kebijakan di depan publik dapat
dipastikan hanya sebuah seni pertunjukan berupa dagelan atau pepesan
kosong, demi janji politis dalam melanggengkan kekuasaan. Jika
dibiarkan berlarut-larut, sudah pasti dapat mencederai dan
memarjinalisasi semangat ngayah tulus ikhlas tanpa pamrih dari para
seniman dalam menunjukkan karya kreativitas seni unggulannya secara
totalitas dalam konstruksi PKB di masa mendatang.
Nah, karena itulah publik kini menunggu langkah arif dan bijaksana
dari para elite penguasa pemangku kebijakan untuk menentukan sikap
politiknya dalam membangun pondasi kebudayaan bangsa yang lebih
bermartabat dan berkeadaban ke depannya. Demi terciptanya kepribadian
masyarakat yang santun bersahaja, ramah tamah, serta berbudi pekerti
luhur dalam bingkai nilai kebenaran dan taat hukum sebagai penguat
jati diri bangsa.(*)

Oleh I Nyoman Wija, SE Ak *
* Penulis adalah jurnalis sebuah media harian di Bali, yang juga
Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya, dan Karyasiswa Kajian
Budaya Unud Denpasar.