MASALAH klasik yang menyandera semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih dari masyarakat seniman dalam upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali dalam konstruksi Pesta Kesenian Bali (PKB) selama ini merupakan bentuk kegagalan kepemimpinan untuk mengayomi hak dan kepentingan publik. Kepemimpinan personal tertinggi mulai dari tingkat pusat hingga paling terendah di tingkat daerah cenderung masih berjarak dan bahkan terkesan lebih dekat dengan kepentingan persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman.

Logikanya, jika kepemimpinan personal dalam konstruksi PKB secara serius dan bersungguh-sungguh serta berkomitmen kuat berbenah diri ke arah positivisme semestinya masalah klasik yang menggerogoti kesucian tata nilai dan keagungan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali selama ini sudah pasti dapat diatasi secara menyeluruh, holistik dan komprehensif. Maka itulah, publik mengkritisi manajemen operasional kepemimpinan dari konstruksi PKB tahun ini yang mengusung tema Paras Paros: Dinamika dalam Kebersamaan masih monotun dengan beragam persoalan klasiknya.

Persoalannya, kenapa kepemimpinan para elite penguasa pemangku kebijakan (pemerintah) dengan jajaran instansi terkait di bidangnya tidak mau belajar dari masa lalu, untuk perubahan masa kini, dan demi kepentingan masa akan datang yang lebih baik dan bermartabat serta berkeadaban. Sekadar perbandingan bahwa beragam kebijakan yang telah diterapkan dalam konstruksi PKB selama ini terkesan bagaikan “macan kertas” atau masih belum mampu sepenuhnya menciptakan paradigma berpikir kritis sebagai upaya peningkatan pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali, demi penajaman hati nurani dan budi pekerti untuk pembangunan fondasi toleransi masyarakat yang cerdas, kreatif dan kompetitif.

 

Simfoni Bisu

Menyikapi dinamika dari realitas sosial tersebut artinya energi dan upaya mulat sarira melalui peningkatan kinerja dan etos kerja yang melibatkan semua pihak terkait di bidangnya dalam konstruksi PKB selama ini hanya menjadi simfoni bisu tanpa ada solusi konkret dan nyata untuk melakukan perubahan secara dramatis dan signifikan terhadap perilaku budaya salah kaprah dan cacat moral yang terlanjur membudaya dan bahkan telah melahirkan persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman berbasis egoisme sektoral yang berorientasi kepentingan keuntungan belaka karena terpicu kapitalisme global.

Akibatnya kepemimpinan dalam konstruksi PKB dicap semakin kehilangan ruh dan taksunya sebagai pengayom kepentingan publik. Kenapa ? Karena sudah tidak berwibawa dan tidak memiliki kebijaksanaan serta ketegasan dalam mengapresiasi semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih para seniman yang secara totalitas telah mengabdikan hidupnya untuk menggeliatkan denyut nadi kehidupan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam konstruksi PKB yang telah digagas oleh mendiang Ida Bagus Mantra sejak 1979 silam.

Tak pelak, upaya pembentukan karakter bangsa demi penguatan jati diri bangsa melalui kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali dalam konstruksi PKB seakan hanya menjadi tinggal slogan saja dan sekadar wacana publik demi kepentingan bernuansa politik, karena terhegemoni kepentingan dominasi nafsu ekonomi kapitalisme global. Celakanya, tanpa disadari bahwa dengan hilangnya penanda masa lalu dari konstruksi PKB sejatinya bangsa ini khususnya Bali telah mengalami degradasi moral dan kehancuran politik identitas dari jati diri bangsa sebagai daya saing di tengah pusaran arus deras dari industri pariwisata dunia.

Di era globalisasi kepentingan ekonomi memang telah mendominasi kesadaran publik dalam mengapresiasi kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali yang telah dikonstruksi dalam PKB selama ini. Ironisnya, kepemimpinan dalam konstruksi PKB bahkan terkesan seakan diam membisu dan membiarkan realitas sosial itu terjadi secara sistemik dan berkelanjutan. Akibatnya, pranata sosial yang dikonstruksi dalam PKB dicap gagal menciptakan media informasi edukasi yang cerdas, bernas dan menyentuh sebagai upaya mencetak karakter budaya demi penguatan jati diri bangsa.

 

Monotun, Kreatif dan Inovatif

Persoalan klasik yang menjadi tanggungjawab kepanitian dalam konstruksi PKB saat ini faktanya belum mampu dikaji secara kritis, holistik dan komprehensif sebagai indikator berbahaya yang dapat mengancam kesadaran publik dalam memaknai tata nilai adiluhung dari tuh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali. Buktinya, aspek pendidikan multikultural yang saling berinteraksi dalam suasana kesetaraan, keadilan, dan penghormatan di atas pemanggungan dengan beragam pertunjukan seni budaya dalam konstruksi PKB belum sepenuhnya mampu menciptakan kesadaran baru dengan paradigma berpikir kritis yang konstruktif.

Tak pelak, konstruksi PKB tahun ini pun dicap publik masih monotun. Meskipun beragam pertunjukan seni budaya yang dipentaskan selama ini telah mencerminkan daya kreatif dan inovatif yang relatif cukup mampu menciptakan seni kebaruan. Selain itu, daya ungkap dari seni pertunjukan yang telah disajikan dalam konstruksi PKB tahun ini sejatinya juga sudah semakin kritis dalam menyikapi dinamika dari realitas sosial masyarakat kekinian, yang cenderung konsumtif. Ironisnya, upaya kreatif dan inovatif dari para seniman tersebut tidak dibarengi kesiapan kepanitian dengan perangkat kebijakan serta dukungan fasilitas perlengkapan dan peralatan pemanggungan yang layak dan lebih memadai.

Faktanya, beragam kendala klasik seperti kemacetan, kesemrawutan, parkir liar di ruas jalan raya, pencurian di ruang rias seniman, lemahnya budaya bersih, dan tidak tertibnya penonton, gangguan sound system dan lighting serta lainnya selalu masih mewarnai setiap pagelaran seni dalam konstruksi PKB saat ini. Nah, atas dasar itulah sudah sepatutnya kepanitian dalam konstruksi PKB akan datang mulai lebih awal menyiapkan formula baru yang dapat menjadi “senjata” andalan yang cukup ampuh dalam mengatasi masalah klasik selama ini. Intinya, ada terobosan baru dalam membangun fondasi toleransi dan komunikasi formal dan informal yang jujur dan berkeadilan di antara berbagai pihak terkait di bidangnya, sehingga masalah klasik tidak selalu menyandera ataupun menjadi momok kesantunan dalam konstruksi PKB akan datang.

Dalam pandangan budayawan, Prof. Dr. I Made Bandem, bangunan konstruksi PKB jika tidak dijaga dengan baik sudah dapat dipastikan akan semakin kehilangan ruh dan taksunya, sehingga tidak mampu lagi menyentuh empati publik lokal, nasional maupun dunia. Dampaknya, pembangunan karakter budaya sebagai penguatan jati diri bangsa melalui kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam konstruksi PKB tidak mampu tercapai dengan baik dan sesuai harapan bersama. Ini artinya, kepemimpinan personal para elite penguasa pemangku kebijakan dalam konstruksi PKB belum mampu mengayomi kepentingan publik secara arti luas.

Padahal, para seniman baik lokal, nasional maupun dunia yang terlibat dalam beragam pemanggungan seni pertunjukan dalam konstruksi PKB saat ini termasuk cukup sangat antusias dan bahkan sebagian besar berani tampil beda secara spesial dan spektakuler atau kolosal meskipun dengan sentuhan dana operasional yang relatif masih tergolong sangat minim dan terbatas. Maka itulah, dalam konstruksi PKB akan datang seluruh komponen masyarakat terutama instansi terkait di bidangnya lebih agresif melakukan perubahan secara dramatis dan signifikan dalam upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali secara sistemik dan berkelanjutan.

Dalam rangka mencetak generasi emas bangsa yang cerdas, kreatif dan kompetitif, serta lebih bermartabat dan berkeadaban dalam berbangsa dan bernegera serta bermasyarakat berdasarkan UUD’45 dan Pancasila yang terbingkai semangat kebangsaan Berbhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian konstruksi PKB yang cerdas, bernas dan menyentuh nantinya dapat menjadi slogan tersendiri dalam menciptakan paradigma berpikir kritis bagi masyarakat dalam menghadapi beragam persoalan di era global dengan kemajuan teknologi serba canggihnya di masa mendatang.(*)

Oleh I Nyoman Wija, SE, Ak.

 *) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya dan Karyasiswa Kajian Budaya Unud Denpasar.