pesta kesenian bali

 

SECARA khusus Gubernur Bali, Made Mangku Pastika sempat mendaulat saya untuk menyampaikan rekomendasi hasil pengamatan langsung sebagai kajian kritis terhadap kinerja kepanitian dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-36 tahun lalu saat rapat pleno lanjutan PKB ke-37 tahun ini di gedung Wiswa Sabha, kantor gubernur Bali, Renon Denpasar, Minggu (24/5).

Seakan tak percaya, bahwa di tengah rasa penasaran seiring tumbuhnya kepercayaan diri saat menghadapi realitas sosial dari berbagai tekanan dan diskriminasi hingga kriminalisasi profesionalime profesi sebagai seorang jurnalis dan fotografer media massa cetak ternyata masih ada sebuah lentera harapan dapat dipercaya menjadi kritikus budaya terkait perhelatan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam PKB yang senantiasa diselenggarakan secara reguler setiap tahun.

Makna dari wujud kepercayaan ini tentunya merupakan konsekuensi kebebasan ekspresi sebuah kewajiban menjalankan dharma profesionalisme profesi seorang jurnalis dan fotografer media massa cetak sekaligus beban tanggungjawab atas pengalaman intelektualisme keilmuan sebagai magister kajian budaya terkait pengabdian sosial budaya di tengah kehidupan masyarakat secara tulus iklas tanpa pamrih yang berkelanjutan.

Sejalan dengan hal tersebut, sepertinya Gubernur Bali, Made Mangku Pastika hendak memberikan sinyal positif terjadinya perubahan pola pikir kritis dalam meneguhkan kekuatan dari kebebasan berbudaya dan bermartabat saat pelaksanaan PKB ke-37 tahun ini dalam menyongsong perkembangan masyarakat ekonomi ASEAN, yang disingkat MEA. Di mana kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia (SDM) dari generasi emas bangsa dituntut harus mampu tampil mandiri dan berdaya saing global.

Dalam konteks ini, PKB ke-37 dengan tema Jagaddhita, yang dimaknai sebagai upaya Memperkokoh Kesejahteraan Masyarakat merupakan barometer penting dalam meningkatkan kinerja pemerintahan yang jujur, transparan, dan akuntabel secara sistematis, terukur dan terarah, serta berbudaya dan lebih bermartabat.

Intinya, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika seakan ingin menegaskan bahwa komitmen dari kebijakan politiknya untuk membenahi pelaksanaan PKB setiap tahun sesungguhnya merupakan sebuah keharusan yang tak boleh ditawar ataupun dibantah lagi dan memang wajib dilaksanakan sebagai sebuah konsekuensi dari kinerja birokrasi pemerintahan.

Sehingga, pelaksanaan PKB yang rencananya akan berlangsung mulai 13 Juni hingga 11 Juli 2015 mendatang nantinya mampu menjawab tuntutan serta tantangan dan ancaman dari perubahan peradaban zaman dan perkembangan globalisasi dengan kemajuan teknologi serba canggihnya menuju persaingan bebas dari masyarakat ekonomi ASEAN tahun ini.

Sekadar mengingatkan bahwa beragam fenomena klasik dalam pelaksanaan PKB selama ini acapkali menodai konstruksi keagungan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali secara masif, terstruktur, dan sistemik. Hal ini karena disinyalir adanya sikap dan perilaku elite politik penguasa kebijakan yang acapkali melakukan tindakan pembiaran secara terus menerus dan berkelanjutan terhadap praktik pungutan liar (pungli) dan aksi premanisme sektoral (lingkungan sekitar) tanpa adanya komitmen dan niat baik dalam upaya penegakan supremasi hukum yang berkeadilan dan beradab.

Implikasinya, muncul kesan bahwa pemangku kebijakan pemerintahan seakan telah diatur ataupun dikalahkan oleh oknum pejabat atau tokoh warga masyarakat yang nekat melanggar hukum dan melegalkan terjadinya praktik pungli dan aksi premanisme sektoral dalam upaya memenuhi kepuasan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu atas dalih ekonomi dengan sengaja tanpa rasa bersalah mengabaikan kepentingan khalayak publik secara berkelanjutan.

Fenomena inilah yang menjadi bagian dari rekomendasi kajian kritis untuk dapat dibenahi dalam pelaksanaan PKB tahun ini. Sehingga, hirarki birokrasi kepemimpinan benar-benar terwujud secara nyata di lapangan dan bukan hanya sekadar teks di atas kertas atau seperti analogi sebagai macan kertas.

Semestinya, fenomena ini tidak boleh terjadi dan bahkan tidak perlu terjadi mengingat PKB merupakan diplomasi kebudayaan bangsa dalam memperkokoh daya saing bangsa dan negara di kancah dunia internasional. Karena itulah, perlu keberanian para elite politik penguasa pemerintahan sebagai pemangku kebijakan kepentingan publik melakukan terobosan ekstrem dalam penindakan tegas sesuai ketentuan supremasi hukum berdemokrasi secara berkeadilan dan beradab.

Lantas, pertanyaannya adakah yang berani dan bernyali untuk melakukan revolusi mental agar terjadi evolusi pola pikir kritis menuju arah perubahan lebih baik untuk mendobrak hegemoni pungli dan premanisme sektoral saat pelaksanaan PKB tahun ini. Kita tunggu saja gebrakan nyatanya di lapangan dalam sebulan ke depan.  

Pada akhirnya, marilah merenung sejenak sudahkah kita bekerja dengan sentuhan hati secara jujur dan menjunjung tinggi kebenaran serta nilai etika dan memuliakan kemanusiaan serta menjaga keharmonisan demi kemaslahatan publik, kesejahteraan berkeadilan dan bermartabat dalam upaya melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali di ajang PKB selama ini.WB-MB