Pitra Yadnya Memukur dan Mepandes Keluarga Wayan Sudirta: Pesan Kesetaraan Bhisama Sadaka PHDI
KETIKA almarhum ibunda senator Wayan Sudirta, SH, Ni Luh Ronce, meninggal beberapa tahun silam dan diupacarai makingsan di gni di setra Desa Pidpid, sebanyak 9 sulinggih hadir langsung untuk melantunkan doa. Waktu itu ada sulinggih menyatakan, doa 9 sulinggih tersebut sama kualitasnya dengan ngaben. Dan tanpa di-aben pun, dengan doa 9 sulinggih tersebut mendiang Ni Luh Ronce sudah mendapat keutamaan upacara ngaben. Lagi pula, ketika jenazah tiba dari bandara Cengkareng Jakarta di bandara Ngurah Rai, sejumlah sulinggih ikut menjemput.
Namun, tahun 2012 ini, almarhumah tetap di-aben bersama 5 keluarga besar Guru Nengah Dangin dalam rangkaian Pitra yadnya memukur tersebut. ‘’Ini semata-mata untuk kebersamaan dalam keluarga. Saya yakin dengan apa yang dikatakan Ida Sulinggih tentang keutamaan doa dan puja, hanya demi kebersamaan saja, almarhum Ibu saya diikutkan dalam pitra yadnya memukur bersama-sama ini,’’ kata Sudirta, yang juga duduk di Sabha Walaka PHDI Pusat.
Sudirta menegaskan, kehadiran 9 sulinggih saat upacara makingsan di gni, menggambarkan bagaimana sulinggih-sulinggih Hindu di Bali sudah ada yang berpikiran maju dan mengedepankan kesetaraan, jauh dari pola pikir yang cenderung feodalistik. Dan dalam semua rangkaian upacara pitra yadnya memukur yang puncaknya 6 Juli 2012 lalu, keluarga Sudirta melibatkan 22 sulinggih yang beragam, mulai Ida Pedanda, Ida Mpu Pasek, Ida Sira Mpu Pande, Ida Rsi, Ida Bhagawan,Ida Rsi, serta Ida Pandita Dukuh. Pandita Dukuh Acharya Dhaksa bahkan bertindak selaku koordinator seluruh eedan upakara, termasuk ketika para sulinggih munggah bersama-sama.
Keragaman dan kebersamaan sejumlah sulinggih dari seluruh Bali ini, sambung Sudirta, selain sebagai contoh nyata kesetaraan, juga merupakan pelaksanaan Bhisama PHDI tentang Sadaka, yang dibuat dalam Pasamuhan Agung PHDI di Lombok tahun 2002. Bhisama Sadaka itu dicetuskan untuk meluruskan asumsi-asumsi yang berkembang dan menjadi salah kaprah umat Hindu, bahwa seakan-akan sulinggih warga tertentu lebih utama dibanding sulinggih warga lain.
Ujar Made Dewantara Endrawan, SH, ketua panitia pitra yadnya memukur lan mepandes keluarga Wayan Sudirta, seluruh upacara berlangsung lancar dan semua pihak merasa nyaman. Semua sulinggih, pinandita, juru serati maupun warga yang hadir untuk mendoakan keselamatan dan kelancaran upacara memukur dan mepandes tersebut, mendapat penghargaan dan penghormatan secara patut tanpa adanya diskriminasi. WD-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.