punakawan-01
Oleh: Ngurah Karyadi

“Bumi gonjang ganjing, langit kolap-kalip, lindu di jagat Nusantara, gunung Selamet pun memberi peringatan”. Seperti ulasan Pramudya dalam, Arus Balik, sehingga: Petruk Dadi Presiden. Lakon ini mungkin bisa kita ulas, terlebih dengan wajah dan perawakan Jokowi, yang menurutnya “pas-pasan dan kerempeng’, seperti Petruk. Dimana, perayaan harus ditunda untuk sementara, hanya hasil hitung cepat (quick qount), begitu kata tetangga sebelah dan barisan pendukungnya. Ada apa dibalik semua itu, berikut coba penulis paparkan.

Paparan karakatural ini terinspirasi dari kisah ketika Abimanyu menderita sakit, yang diduga terkena demam. Mirip cerita Anggito Abimanyu, yang kini terjerat kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) di biro perjalanan haji. Dalam kisah wayang,  Abimanyu adalah “perantara”, yang nantinya akan mewariskan “Dampar” (Tahta) Parasara, pendiri bangsa Kuru, kepada anaknya, Parikesit dan para penerusnya. 

Bersamaan dengan sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni Wahyu Maningrat, yang menyebarkan benih keratuan; Wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya sebagai ratu; dan Wahyu Widayat, yang melegitimasinya sebagai ratu. 
Ketiga wahyu itu kini diduga hinggap pada diri: Jokowi. Mudah-mudahan tidak ada “Prahara”, mengingat akronim nama capres/wapres lawan dalam Pilpres seperti itu.

Seperti Petruk, Jokowi pasti akan jadi Presiden di negara yang dinamai para pendiri bangsa: Indonesia. Kita akan menggelari dirinya Presiden Blusukan, karena gemarnya dia turba! Untuk kukuh menjadi Presiden, ternyata dia membutuhkan “damper” Republik Indonesia, warisan Bung Karno. Jokowi memerintahkan kepada dua orang kepercayaanya, Bayubiru -mungkin ada titisan Anoman lewat Eros Jarot – dan Anis Baswedan -diduga ada titisan Wisanggeni, anak Arjuna- untuk merebut Tahta Bung Karno itu. 

Singkat cerita, kedua utusan itu berhasil merebut tahta tersebut lewat sayembara Pilpres 9 Juli. Presiden Blusukan mencoba duduk di atasnya, namun begitu mencoba duduk, ia pun terjungkal, gara-gara sainganya belum menerima kekalahan. Dia sudah coba  berulang-kali. Sang Presiden akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui penasihatnya bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka yang bisa dililing (dilihat dan ditimang) -kira-kira seperti boneka “beruang” yang dipeluk Ical Bakrie saat pesiar bersama dayang-dayang di Maldive. 

Seperti Petruk, Jokowi  kembali menyuruh kedua utusannya, Bayubiru dan Anis Baswedan untuk mencari boneka beruang yang dimaksud. Tanpa memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu, yang tak lain adalah “daulat rakyat” yang sedang sakit. Maklum, cukup lama disekap Soeharto dan kronis-nya, yang kini coba direbut kembali dengan cara-cara Prahara, dari tetangga sebelah.

Ketika dipangku Presiden Blusukan, daulat rakyat sembuh, sambil berkata kepadanya, “Kamu takkan bisa menduduki tahta itu, jika kamu tidak memangku aku”. Sangat populis, berbeda dengan sikap jumawa sainganya dalam Pilpres lalu.

“Pada saat itulah saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, namun secara konstitusional saya bisa duduk sebagai Presiden. Tugas saya hanyalah memangku ‘daualat rakyat’, kata Jokowi, saat kampanye perebutan tahta lalu. 

“Dengan daulat rakyat, siapapun dapat duduk di tahta raja karena kita memangkunya. Jadi presiden itu takkan bisa menjadi presiden, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti kita-kita ini”, kata Jokowi, katanya menambahkan. 

Seperti Petruk, dulu Jokowi tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Ke depan, mudah-mudahan  ia paham, bahwa wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu akan mendapat daulat rakyat, yang akhirnya menjadikanya sebagai Presiden. 

Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku orang sejenis Jokowi, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Jokowi-lah yang memangku daulat rakyat, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada daulat rakyat. 

Sepeti Petruk, yang  sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. Mudah-mudahan Jokowi dapat mencatat peringatan ini, mengingat kepada perlakuan pemimpin sebelumnya kepada pendiri negeri: Soekarno-Hatta, tanpa rajasa. 

“Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan jabatan presiden menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, kekuasaan itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup kekuasaan, bahkan ketika ia berhadapan dengan akhiratnya”, ujar Jokowi, dalam Maklumat Jokowi-JK, 5 Juli, dihadapan ratusan ribu relawan dan simpatisan di masa kampanye di Gelora Bung Karno.

Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara kekuasan itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Suatu dasar pikiran Jokowi, saat menerima daulat rakyat partai berlambang banteng, lewat Ibu Megawati, sebagai Capres. 

Sementara rakyat terus ada. Buktinya, mereka ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas).

Pemimpin harus menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat kesempatan sebagai penguasa, untuk menuliskan sejarahnya. “Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula. Tidak malah ‘ngrayah uripe kawula’ (menjarah hidup rakyat),” kata Jokowi, dalam suatu Debat Capres. 

Kuasa itu harus mau berkorban. Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan dianggap oleh rakyat. Presiden itu bukan presiden lagi, kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu.

Kita sering mempertanyakan, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula, menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya? 

Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti itu. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana, yang serakah dan seolah banyak berbut. Sementara hanya ada satu tahta Parasara, yang berdampingan dengan hanya ada satu tahta rakyat. 

Dalam kenyataan, sejak Soeharto, sampai Yudoyono berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki Tahta Soekarno. Anaknya, Megawati sekalipun masih jauh. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar atau tahta rakyat ini. 

Kini, kita mendengar tanah datar, gunung, lembah, danau, serta samudra di segenap belahan negeri itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia, dan seterusnya. 

Kedepan, Presiden dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti kisah Abimanyu dan Petruk. Sehingga, dengan Petruk Dadi Presiden, kita berharap penguasa dan rakyat saling memangku, menjaga dan dapat mensejahterakan, “semua untuk semua, sampai tidak ada yang tersisa untuk penguasa”.  (***)