Ilustrasi

Aksi rakyat/petani bubar saat penguasa pidato di Jateng, dan ditempat lain, beberapa hari terakhir ini, mengingatkan kita pada puisi (MIA) Wiji Thukul. Penyair yang diculik, dan dinyatakan “hilang” (MissingInAction/MIA). Dia punya kualitas sejajar dengan sekian banyak sastrawan ternama Indonesia, dari Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, GM, sampai Umbu Landu Paranggi.

Banyak karyanya yang masih terus bertebaran, terlebih bagi kaum elit, atau ekonomi sulit, maknyusnya. Tetap mengena dan menggema di hati masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda. Salah satunya, puisi yang bertajuk: Per-ingat-an.

Mencopot dari buku “Tentang Manusia Indonesia” (2015), karya Toeti Noerhadi N. Roosseno, dalam puisi “Peringatan”, Wiji Thukul mencoba mengingatkan penguasa untuk berubah, dan/atau sekaligus mengajak rakyat untuk melakukan per-lawan-an. Puisi lengkapnya sebagai berikut:

“Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa.

Kalau rakyat sembuyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.

Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: Lawan!”

Dalam puisinya ini, sang penyair ingin memperingatkan pemerintah dimasa itu, bahwasanya suara dan opini masyarakat mulai tidak didengar/dibungkam.

Sehingga, lewat puisi Peringatan, penyair berkisah tentang rakyat yang suara dan opininya tidak lagi didengar penguasa atau pemerintah.

Puisi Peringatan, yang dibuat pada masa Orde Baru (Orba), sangat relevan di masa PostOrba, hari ini. Lewat puisi Wiji Thukul, kita suarakan ketidak-adilan, dan ketidak-pastian, yang tersembunyi dalam segala jurus #PetruKantongTebal, seperti dillakukan kaum penguasa dan pengusaha kepada rakyat kecil. Karena Copet/Maling, ya Copot/Makzulkan!

Sekaligus, menjelaskan bahwa ada banyak sisi “gelap” yang dimiliki penguasa dan pengusaha PostOrba. Terkesan selaras dengan skenario NewWorldOrder-nya Klaus Swabs. Mulai dari penanganan pandemi/ COVID, IKN, ketahanan pangan sampai Pilpres ala #UncleUsMan.

Ketika rakyat mulai acuh dan tidak mendengar penguasa, juga kebenaran yang sulit diperoleh, seperti ditunjukkan rakyat/petani se-Jateng, hal ini hanya akan membawa kehancuran bangsa.

Seperti Wiji Thukul, kita harus menyampaikan posisi sebagai warga negara, yang ingin kondisi bangsanya jauh lebih baik. Mengajak rakyat “sesat ke jalan baik/benar”, dan bukan “benar di jalan sesat”, seperti ditunjukkan penguasa/pengusaha.

Bersama dengan rakyat dan pemerintah, yang berubah, kita gotong royong memperbaiki kondisi negara, di mana kita semua hidup selaras, adil dan makmur. Kalau tidak mau berubah: #Lawan! #Revolusi! #CopotCopet! #MakzulkanMaling!

*Ngurah Karyadi, Penulis KaraKatur, dan #KutipSiniSana